Wednesday, December 28, 2011

Akhirnya Singapur Juga! - Bagian 3

Well, karena di post "Akhirnya Singapur Juga! - Bagian 2" saya sudah menulis sangat eksposisional, sekarang saya mau nulis random trivia dan majang foto saja hahaha. Deskripsi tentang Universal Studios Singapore (berikutnya disebut USS) dan ride yang ada di sana udah banyak dan lengkap banget soalnya di Internet, jadi biar gak dibilang nyontek saya cerita yang lain aja hihi.

Tuesday, December 20, 2011

Akhirnya Singapur Juga! - Bagian 2

Changi Airport MRT Station

Melanjutkan post sebelumnya, "Akhirnya Singapur Juga! - Bagian 1", di bagian kedua ini saya akan bercerita tentang hal kedua yang sangat berkesan di Singapur yaitu sistem transportasinya.

Seperti yang kita semua tahu, Singapur punya subway super gaul yaitu MRT--fyi MRT adalah singkatan dari Mass Rapid Transit. Sebagai anak akunting yang sangat puas belajar control system, saya dan Clara benar-benar terpukau oleh control system-nya MRT. Well, Debie sama Citra juga anak akunting sih tapi karena mereka udah sering ke luar negeri jadi gak terpukau lagi kayaknya hahaha.

Saya akan mencoba menggambarkan kecanggihan MRT secara kronologis. Pertama-tama, yang harus dilakukan untuk naik MRT adalah datang ke stasiunnya dan beli tiketnya. Tiket MRT ada dua macam, tiket single trip dan EZ-Link untuk multiple trip.

Friday, December 16, 2011

Akhirnya Singapur Juga! - Bagian 1





Setelah gagal ke Singapur awal tahun 2011 dan malah ke Bandung! gara-gara Mandala bangkrut, akhirnya saya berangkat juga sama Clara, Debie, dan Citra seminggu yang lalu. Alhamdulillah yah! :D

Sebenarnya, saya agak deg-degkan pergi ke Singapur. Pernah waktu SMP, kalau gak salah tahun 2004 pas kenaikan ke kelas tiga, pergi ke Singapur sama sekolahan dalam rangka study tour, dan pulang dengan rasa kecewa. Menurut saya di Singapur gak ada apa-apa, gak ada yang istimewa. Pengalaman paling traumatis yang bikin saya enggan banget ke Singapur lagi adalah berbelanja di Mustafa Center. Syok banget tempat jelek busuk gitu, yang jual barang-barang yang gitu-gitu aja pula disebut objek wisata. Untungnya, mungkin karena traumanya udah ilang dan diajak teman-teman, enam tahun kemudian saya udah agak mau ke Singapur lagi.

Pas udah lebih dewasa dan berwawasan lebih luas daripada waktu SMP dulu, saya mulai bisa mengerti serunya Singapur. Ada tiga hal yang luar biasa berkesan buat saya: pertama air minumnya, kedua sistem transportasinya, dan ketiga tentu saja Universal Studios-nya.

Thursday, December 15, 2011

Memories of Yogyakarta 2 ♥

Gudeg Mbarek Bu Hj. Amad
Paling kiri: Acie. Lainnya: Mas-mas dan Mbak-mbak gudeg dan tukang parkir.
Menu paling ekonomis di Gudeg Mbarek Bu Hj. Amad--yang juga menu favorit saya--adalah Paket 4: nasi gudeg ayam suwir gak pake telor. Walau judulnya ayam suwir, porsi ayamnya gak menyedihkan seperti yang teman-teman bayangkan kok. Malahan, kayaknya jumlah dagingnya lebih banyak dari kalau beli ayam bukan suwir yang paha bawah. Jatohnya malah lebih oke karena udah lebih murah, lebih banyak, dan gak perlu nyuwir-nyuwir sendiri. Selama saya tinggal di Jogja, Paket 4 harganya Rp10.000,- sadja. Pas saya udah gak di Jogja lagi, semua menu harganya sudah naik seribu rupiah karena dia tempatnya habis diekspan dan direnovasi jadi gaul.

Buat saya, Gudeg Mbarek Bu Hj. Amad adalah gudeg paling enak sedunia. Seriously. Kalau teman-teman punya pendapat lain juga boleh, soalnya setiap gudeg punya citarasa tersendiri dan setiap orang seleranya juga beda-beda. Selain karena lezat banget gudeg dan kreceknya, saya seneng banget makan di sini karena dia jam 6 pagi sudah buka, jadi bisa buat sarapan. Gudeg Mbarek Bu Hj. Amad-lah sarapan saya sebelum sidang skripsi dan ujian kompre!!! #teruskenapa

Friday, November 25, 2011

anxious |ˈaNG(k)SHəs|

adjective
1 experiencing worry, unease, or nervousness, typically about an imminent event or something with an uncertain outcome: she was extremely anxious about her exams.
• [ attrib. ] (of a period of time or situation) causing or characterized by worry or nervousness: there were some anxious moments.
2 [ usu with infinitive ] wanting something very much, typically with a feeling of unease: the company was anxious to avoid any trouble | [ with clause ] : my parents were anxious that I get an education.

DERIVATIVES
anxiously adverb,
anxiousness noun

ORIGIN early 17th cent.: from Latin anxius (from angere ‘to choke’) + -ous.

usage: Anxious and eager both mean ‘looking forward to something,’ but they have different connotations. Eager suggests enthusiasm about something, a positive outlook: I'm eager to get started on my vacation. Anxious implies worry about something: I'm anxious to get started before it rains.

Taken from the New Oxford American Dictionary

Wednesday, November 23, 2011

Gym

Sejak berat badan ngedrop maksimal melewati taraf memprihatinkan, penampakan saya jadi sangat menyedihkan kayak korban narkoba. Saya jadi lemah, gak kuat angkat dandang, gak kuat dorong pager, bawa apa-apa dikit udah ngos-ngosan. Saya jadi kurus banget, sepatu jadi kebesaran, baju jadi pada longgar. Komentar "Sasa kurus banget sekarang, makannya susah ya?" sudah seperti nyanyian yang mau tak mau saya dengar setiap ketemu famili pas Lebaran. Capek deh pokoknya. Ngeri memang hal-hal yang bisa terjadi karena (putus) cinta.┌(_o_)┐

Akhirnya, saya disuruh ngejim sama ibu.

Pusat kebugaran alias fitness center yang juga populer disebut gym, sering kali diasosiasikan dengan--sorry--pria-pria homoseksual serta otot-otot menggelikan yang mengerikan, yang secara langsung membuat pria-pria normal ketakutan. Well, itu ada benarnya. Memang ADA gay di gym, dan ADA orang yang ngejim sampai otot-ototnya kayak binaragawan, dan memang itu agak seram. Ditambah lagi wacana di internet seperti artikel dan video tutorial tentang menaikkan atau menurunkan berat badan dengan ngejim atau angkat beban selalu diperagakan oleh orang-orang dengan bentuk yang "ditakuti" itu, mau tak mau kata "fitness" mengalami pegeseran makna dan identik dengan seperti tersebut di atas.

Tapi sebenarnya, orang-orang yang "ditakuti" di gym itu dikiiiiiiiiiit banget. Pada kenyataannya, gym dipenuhi manusia normal yang merasa terlalu kurus seperti saya, atau merasa terlalu gemuk seperti beberapa teman yang sedang membaca tulisan saya ini, dan segelintir orang yang sudah sukses mencapai berat badan dan bentuk tubuh seperti yang diinginkan dan tetap ngejim untuk mempertahankannya--yang perempuan badannya pada sekel atau langsing memukau, yang laki-laki perutnya sikspek atau dadanya bidang atau lengannya kekar.

Mungkin di antara teman-teman yang baca ini ada yang menganggap ngejim gak penting, gak menarik, dan kadang-kadang memandang sebelah mata orang-orang yang working out di gym sampai lengannya bergelombang kayak kulit kacang. Jujur dulu saya juga begitu. Tapi setelah tahu perjuangan mereka, apa yang mereka lakukan sampai bisa kayak begitu bentuknya, saya tidak lagi memandang mereka sebelah mata. Saya menghargai mereka, yang ingin hidup lebih sehat dan menjaga bentuk dan berat badannya.

Thursday, November 10, 2011

My Hero!

Makasih @Intanayah udah motoin :)
Sebuah post dalam rangka Hari Pahlawan.

Annisa My Hero! Award tahun ini dianugerahkan kepada teman lama banget saya, Rizaldy Azhar, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan teknik elektro di sebuah institut teknologi tersohor di Bandung Lautan Asmara Api atas jasa-jasanya mendampingi saya selama tiga hari--berdesakan a la nonton konser pas jobfair di Sabuga, nemenin psikotes A***a dari siang sampe malem, nungguin giliran interview selama 4 jam, dan tentu saja nganterin berkeliling Kota Kembang dan kampusnya. Nggak ngerti deh nasib saya gimana kalo nggak ada Zaldy :')

Semoga Si Ganteng Zaldy lulus sesuai jadwal, cepet pacalan, dan mimpinya bekerja di oil company lekas jadi kenyataan. Amiiin ya robbal alamin.

"You can't always get what you want. But if you try sometimes, well you just might find... you'll get what you need."

Thursday, September 29, 2011

thankyou.

Sampaikan terimakasihku pada wanitamu, karena telah menunjukkan kepadaku jalan keluar dari hatimu.

Dan siapapun yang ada di balik kamera saat itu.

Thursday, September 22, 2011

Samsat Drive Thru yang Super Gaul

Foto dicopy dari sini
Samsat Drive Thru di Kantor Bersama Samsat Jakarta Selatan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009, tepatnya sejak 25 September (kata gugel). Tapi karena STNK saya jatuh temponya 19 September, pas harus perpanjang tahun 2009 Samsat Drive Thru-nya belum jadi. Tahun 2010, pas saya memperpanjang STNK lagi, sebenarnya saya sudah bisa mencoba fasilitas gaul Polda Metro ini. (perlu diketahui memperpanjang STNK dengan membayar pajak tahunan kendaraan bermotor itu dilakukan setiap tahun setahun sekali yah #kode) Tapi Samsat Drive Thru entah mengapa belum memberikan saya keyakinan yang memadai untuk bertransaksi di sana.

Bagaimana bisa proses perpanjangan STNK yang merepotkan dan biasanya makan waktu sekitar satu jam, di mana kita harus bolak-balik kesana-kemari dari loket yang satu ke loket yang lain, mengantri dan berdesakan di booth fhoto copy (seriously, tulisannya begitu di sana) buat motokopi berkas-berkas, tiba-tiba bisa jadi DRIVE THRU yang praktis dan cepat? Cuma ngasih liat KTP asli, STNK asli, dan BPKB asli ke pak polisi di jendela pertama, terus disuruh bayar pajaknya di jendela dua dan STNK-nya langsung jadi. Kayaknya agak mitos.

Akhirnya, karena berbagai keoonan dan kekepepetan yang panjang deh ceritanya, perpanjangan STNK Momo tahun 2011 ini terpaksa saya coba lakukan di Samsat Drive Thru yang katanya gak sampe lima menit itu. Dan ternyata benar! Sepraktis dan secepat itu, gak sampe lima menit!!! LUARRR BIASA. Kegiatan memperpanjang STNK yang biasanya menyebalkan dan sangat membosankan, lewat Samsat Drive Thru jadi exciting dan membahagiakan! :D

Ps. Sampai post ini ditulis, sayangnya hanya kendaraan bermotor yang sudah dibaliknama sadja yang bisa bayar pajaknya lewat Samsat Drive Thru. Kalau masih ngredit belum bisa.

Tuesday, September 20, 2011

Menonton Bola di Stadion Utama

Gelora Bung Karno hanya berjarak lima menit dari rumah saya—kalau lancar dan naik mobil. Kalau macet, saya biasanya naik sepeda genjot atau sepeda motor, kira-kira jadi sepuluh atau lima belas menit. Waktu SD, saya malah hampir setiap minggu jalan kaki ke Senayan bersama teman-teman untuk berbelanja—dulu ada pasar kaget seperi Sunday Morning di UGM di ring Stadion Utama setiap hari Minggu pagi. Dan yang paling gaul adalah waktu SMA, sekolah saya tes atletik buat pelajaran olah raganya di Stadion Utama.

Sayangnya, "kedekatan" saya dengan Gelora Bung Karno selama ini hanya sebatas itu. Datang ke sana untuk berbelanja atau berolah raga, gak pernah datang untuk jadi supporter. Ironis, orang-orang bela-belain datang dari jauh, dari seluruh penjuru kota Jakarta dan luar kota dan bahkan dari luar negeri untuk menyemangati timnas Indonesia di Stadion Utama, saya yang rumahnya deket kesandung nyampe malah belum pernah nontonin Mas Bambang cs langsung di sana.

Tapi dua minggu yang lalu itu semua berubah :> Untuk pertama kalinya selama 21 tahun saya menonton pertandingan sepak bola di Stadion Utama \(^o^)/

Kita nonton bareng Om Duta dan famili loh :D Tengkiu buat temen (atau kakak) Ode udah motoin :)



Walaupun pertandingan Indonesia vs Bahrain kemarin tidak berakhir menyenangkan, saya tetap belajar banyak hal. Pertama, saya jadi tahu Stadion Utama bagian selain lapangannya kayak apa. Tempat duduk di tribun stadion itu kotor parah, gak pernah dibersihin kayaknya. Tangga menuju tribun juga kondisinya sangat mengenaskan: keramiknya udah pecah-pecah, lampunya banyak yang mati jadi gelap gulita, debunya juga tebel banget kayak gak pernah disapu sejak tahun 60an. Kalo mau dideskripsikan pakai satu kata, saya akan pakai kata: angker. Stadion Maguwoharjo di Jogja kayaknya lebih terawat :| Prihatin liatnya, Stadion Utama Gelora Bung Karno, stadion terbesar di Indonesia, yang dipake buat event-event internasional, masa kayak gitu…? :(

Kedua, gara-gara teman-teman saya marah-marah mulu sepanjang pertandingan karena menurut mereka timnas kita mainnya gak becus, saya jadi sering nonton Barca TV, sebuah channel yang menayangkan rekaman-rekaman pertandingan klub Barcelona dari masa ke masa (yang Barca-nya menang, ya iya lah). Saya jadi mulai ngerti gimana permainan sepak bola yang bagus dan seru, dan mulai paham kenapa teman-teman saya yang laki-laki geregetan banget pas nonton dua minggu yang lalu, ckckck.

Ketiga, suasana live di stadion itu tiada duanya. Walaupun gak bisa direplay kalo ada yang kelewatan dan gak bisa ngeliat muka pemainnya dengan jelas kayak di tivi, nonton langsung di stadion itu serunya bukan maiiinnn. Bisa teriak-teriak, tiup-tiup terompet, tepok-tepok tangan, nyanyi-nyanyi, dan yang paling seru adalah ikutan bikin ombak :D Gak bisaaa di rumah kayak begitu hahahaha. Seneng deh pokoknya nonton bola di stadion.

Difotoin Ibu Auditor Clara
Saya akui saya memang katrok dan nggak gaul. Mungkin karena saya penakut, atau orang tua saya penakut(?). Saya tidak boleh jajan karena takut dikasih narkoba, tidak boleh pulang malam karena takut diculik, tidak boleh nonton konser festival karena tragedi konser Sheila on 7 di Bandar Lampung, tidak boleh ikut demo karena tragedi Semanggi, termasuk tidak boleh nonton bola karena tragedi Bonek dan Jakmania, dan masih banyak lagi tidak boleh-tidak boleh lainnya. Sampai akhirnya saya merantau ke Jogja dan kembali pulang, saya berhasil membuktikan bahwa semua ketakutan-ketakutan (orang tua saya) itu berlebihan.

Oh iya, kalo mau baca cerita yang lebih lengkap gaul banget tentang nonton bola di Stadion Utama, nih ada post nya Ibu Auditor Clara silakan klik di sini :D

Ps. Tanggal 21 September besok kan ada konser Linkin park yah di Stadion Utama, gila yah itu orang bayar jutaan rupiah tapi nontonnya bakal duduk di kursi stadion yang jelek, usang, dan berdebu itu loh hiii. Mudah-mudahan Big Daddy sang promotor menyiapkan venue-nya yang bener yah, biar orang-orang kayak itu gak sakit hati karena merasa diperlakukan dengan tidak layak.

Wednesday, September 14, 2011

Friday, September 9, 2011

Memories of Yogyakarta ♥

Selamat datang di Yogyakarta,
si Kota Pelajar yang penuh derita dan romansa.
House of Iron Horse

Azka dan Kiky, sahabat kental pertama di perantauan.


Intan dan Vani, yang pintar dan baik hati.




Griya Fahmawati, saksi bisu om galau dan kakak bahagia.
Ira, Sasa, Mas Hadi, Dias, Mba Wati, Clara, Mba Yoan.



Soragan Castle, 2 November 2009. 20 tahun.
Yudi, Mba Yoan, Sasa, Ira, Hadi Mulya, Clara.



Parangdog, 2 November 2010.
Behind the Clouds

Konser Ultah Sheila on 7.
Clara, Sasa, kimcil yang sadar kamera.



The Power Rangers.
Angga, Debie, Citra, Sasa, Clara, Bastanta, Faiz, Tiwi, Eko, Aci.



Sebuah Kisah Klasik.
Sasa dan Wana.

Saturday, September 3, 2011

Backstage

2 November 21 tahun yang lalu, saya terlahir di pagi hari tanpa nama sampai malamnya di TVRI bersiar pengajian membacakan surat An-Nisa. Akhirnya saya pun diberi nama: Annisa. Tanpa embel-embel. Gak pake aja, gak pake thok, gak pake doang. Simpel, atau terlalu gak kreatif?

Ibu saya tidak seperti ibu-ibu kebanyakan yang rajin memasak dan suka berdandan. Waktu muda, sampai sekarang juga sih, ibu saya adalah ibu-ibu tomboi petualang yang nyeni dan perfeksionis. Beliau suka mencoba hal baru dan pintar sekali mendesain dan mendekor rumah. Beruntung gen itu mengalir dalam darah saya, walau tidak se-pemberani ibu, saya jadi lumayan bisa foto. Continue reading...

Sunday, August 14, 2011

JRL 2011 - Bersenang-senang Kemudian

The Changcuters

Kalau kata pepatah, there's always a first time for everything. Di JRL 2011, saya ngalamin banyak first time yang seru banget dan sangat berharga. Salah duanya adalah ini.

1/ Untuk pertama kalinya bertugas nulis dan tulisannya diedit orang.

Blog saya memang mati suri hampir dua bulan lamanya, tepatnya sejak sebelum saya ujian skripsi dan kompre. Tapi blog saya mati bukan berarti saya berhenti nulis lho. Sebelum ngeliput JRL, saya sempat ngeliput sebuah pagelaran orkestra. Di pagelaran orkestra itu, saya terbang solo untuk pertama kalinya: moto dan nulis, dan itulah pertama kalinya saya nulis liputan *koprol*. Tulisan (pertama) saya ini bebas merdeka, gak pake diedit abang-abang. Senang. Ini linknya.

Nah, karena partner liputan JRL saya adalah Kak Rio yang fotografer profesional, Kak Rio lah yang bertugas moto dan akibatnya, saya yang bertugas nulis. Akhirnya, setelah bertapa berjam-jam dan dikejar-kejar deadline, jadilah lima liputan ini:

Sheila on 7, hari pertama di Simpati Stage jam 19:15
30 Seconds to Mars, hari pertama di GG InterMusic Stage jam 00:45

Godbless, hari kedua di GG InterMusic Stage jam 18:00
The Cranberries, hari kedua di GG InterMusic Stage jam 23:00
Helloween, hari ketiga di GG InterMusic Stage jam 21:45


It's not much, but it's a start ^.^v Dari 5 tulisan itu, 4 diedit. Yang paling parah editannya adalah Sheila on 7. Itu kayak bukan tulisan saya!!! T.T Dan 1 yang gak diedit sama sekali: Cranberries.

Tulisan diedit orang itu rasanya antara senang dan sedih~ senang karena biasanya tulisannya jadi lebih bagus, tapi sedih karena kadang-kadang jadi "nggak-gue-banget" gitu. Trus kalo temen-temen gak suka judulnya jangan protes ya, judulnya bukan saya yang bikin soalnya... saya belom bisa bikin judul macam itu hahaha.

2/ Untuk pertama kalinya nonton festival rock internasional.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya gila juga: orang-orang yang masuk JRL niket itu bayar rata-rata 300ribuan loh. Artinya, mereka adalah orang-orang yang relatif kaya--atau minimal orang tua mereka kaya. Tapi mau kaya kayak apa juga, when it comes to festivals, tetep aja mereka berdesak-desakan, jotos sana-sini, dan bercucuran keringat. Mbak-mbak cantik yang pakai hot pants dan atasan you-can-see harus rela kulit halusnya bersenggolan dengan kulit orang lain yang plicket. Rambut mereka yang panjang nan indah bak bintang iklan sampo pun jadi berantakan dan mencuat sana-sini. Jadi semacam kayak di hadapan Tuhan, di hadapan panggung festival semua orang juga sama--mulai dari yang jutawan yang masuknya niket 300ribuan per hari sampai yang wartawan yang masuknya gratis pakai ID "PRESS"--semuanya jadi jelek! Hahaha~


Sebelum JRL, saya gak pernah mau tuh nonton konser yang harga tiketnya ratusan ribu apalagi jutaan kalau bayar sendiri. Saya pikir gak worth. Tapi setelah ngerasain JRL, I take back what I just said. Menurut saya, buat semua orang yang suka musik, atau artisnya, atau bahkan hingar bingarnya, main ke JRL itu adalah vacation--sama kayak orang yang seneng traveling mengisi liburannya dengan jalan-jalan. Sama-sama mikirin budget (nabung dulu buat beli tiket JRL = nabung buat beli tiket pesawat/kereta/bis/kapal etc.). Sama-sama bikin itinerary (bikin jadwal mau nonton siapa di panggung apa jam berapa = mau datengin tempat apa kapan). Dan pastinya sama-sama bikin kaki gempor (tapi kayaknya JRL lebih bikin kaki gempor sih).

Tapi namanya juga vacation yah, meski melelahkan JRL sangatlah menyenangkan! Sebuah pengalaman yang bisa diceritakan minimal jadi tiga post di blog ini. Yang ngangenin, bikin kebayang-bayang dan ketagihan--an experience you wouldn't fine anywhere else!

Saya sempet mikir pengen nabung duit dari sekarang biar bisa ke JRL tahun depan niket, atau jadi volunteer apa gitu, mengingat betapa capeknya ngeliput. Tapi setelah pikir-pikir lagi, niket atau jadi volunteer juga kayaknya capek kalo dateng tiga hari, so... instead of saving money, saya kayaknya mau nabung ilmu aja biar bisa bikin liputan JRL 2012 yang jauh lebih baik dari tahun ini :)

Ps. SAYA SENENG BANGET LHOOO PUNYA FOTONYA CHANGCUTERS HIHIHI

Thursday, August 11, 2011

JRL 2011 - Bersakit-sakit Dahulu

The Changcuters

Java Rockin' Land adalah festival rock terbesar se-Asia Tenggara yang cuma terjadi satu tahun sekali. Jadi ngeliputnya pun no funny business. Kayak ngaudit, kita harus bikin preliminary strategies termasuk understanding bisnis klien dan risk assessment. (Cih!) Dalam hal ini adalah 15 musisi mancanegara dan 104 band Indonesia di 10 panggung selama 3 hari di venue seluas berhektar-hektar~ pertama-tama kita harus milih mau ngeliput apa aja.

Idealnya, satu media nugasin sepasang fotografer dan reporter di setiap panggung (tapi emang gak efisien banget sih hahaha) atau minimal sebanyak penampilan yang pengen diliput tapi waktunya bentrok. Contohnya gini: di JRL hari pertama, The Changcuters, Naif, sama Loudness (band gaul asal Jepang) mainnya barengan di tiga panggung berbeda. Berarti, si media harus menerjunkan minimal tiga pasang fotografer dan reporter biar tiga yang band penting yang mainnya barengan itu bisa diliput semua.


Potongan jadwal JRL kemarin.

Masalahnya, karena berbagai keterbatasan, media gak bisa menerjunkan duet maut fotografer dan reporter sebanyak itu, jadi kita harus memilih siapa yang mau diliput. Dan milih mau ngeliput siapa juga gak cuma milih diantara beberapa band yang mainnya bareng itu, tapi juga harus mempertimbangkan siapa yang main sebelum atau sesudahnya, dan worth apa enggak mereka buat diliput.

Contohnya masih sama: Changcuters - Naif - Loudness. Waktu itu, buat saya dan Kak Rio Loudness worth the least--berarti tinggal Naif dan Changcuters. Trus kita liat dong siapa yang main abis mereka: 30 Seconds to Mars--mereka lagi hip banget beberapa bulan terakhir dan penting banget buat diliput melebihi siapapun. Jadwal abisnya Changcuters itu mepet sama jadwal mulainya 30 STM, dan Naif bahkan belum selesai pas abang Jared mulai main. Dan semua orang, siapapun artisnya, pasti udah siap-siap di depan panggung dari beberapa waktu sebelumnya biar dapet depan--pas 30 STM kemarin orang-orang udah pada ngetem dari jam 23, padahal jadwal manggungnya jam 00:45. Artinya, kalau mau dapet depan juga, saya dan Kak Rio harus ngetem juga... Artinya juga, gak bisa nonton--eh, ngeliput--Changcuters sama Naif :((

Pusing? You bet. Tapi akhirnya saya dan Kak Rio kemarin tetap menyambangi Tebs Stage kok buat liat Changcuters. Gak ngeliput, cuma moto doang--makanya ada fotonya Changcuters yeaaay :* Kesian sebenernya sama musisi besar yang main sebelum musisi raksasa kayak Changcuters dan Naif yang main sebelum 30 STM. Jadi gak ada yang nonton :( Makanya bisa moto tuh saya soalnya lowong banget tempatnya T.T

Nah, kalau udah milih mau ngeliput siapa aja, kita harus mempelajari musisi yang mau diliput itu--sesuatu yang kurang saya lakukan kemarin. Mulai dari sejarahnya, udah punya berapa album, lagu yang ngetop apa aja, dan biasain kuping dengerin lagu-lagunya. Ini gunanya buat pronoun pas ngemeng di laporannya. Kalau tugasnya moto ya bisa browsing-browsing video aksi bandnya dan foto-foto panggung mereka terdahulu, buat tau karakter mereka kayak apa. Ini penting buat ngatur strategi motonya. Kayak misalnya Changcuters, mereka kan hiperaktif gitu, lebih pecicilan dari Sheila on 7 (misal). Jadi kalo ngefreeze, berarti shutternya harus dicepetin, lebih cepet dari kalo moto Sheila on 7, bla bla bla.

Balada Foto JRL - Sebuah Curahan Hati

Moto JRL itu s u s a h T.T setidaknya buat saya. Bukannya ngeluh ya, tapi ini adalah bagian dari risk assessment, atau cost-benefit analysis. (Sombong mentang-mentang udah sarjana bahasanya tinggi.) Kebanyakan panggung JRL pitnya gak bisa diakses media, kalaupun bisa paling cuma dikasih berapa lagu. Contohnya pas Cranberries, media boleh tuh masuk ke pit, tapi cuma dua lagu pertama trus abis itu terpaksalah sang fotografer menonton dari ujung paling belakang soalnya depan-depan udah rapet banget dipadati gerombolan ABG dan hot mama.


Waktu itu saya dan Kak Rio mikir, pilih mana: masuk media pit = moto dengan sejahtera tapi cuma dua lagu pertama trus nonton the rest of the show dari paling belakang; atau gak masuk media pit = ngetem di depan panggung dari satu jam sebelumnya, berdiri di depan sepanjang pertunjukan, dan bisa moto juga tapi motonya gak sejahtera? Akhirnya kami memilih yang kedua, dan moto Mbak Dolores dari kerumunan penonton--well, yang moto Kak Rio sih bukan saya hehe.
  

Beruntung bukan saya yang bertugas moto, karena jujur saja saya adalah jago kandang, literally -_- gak ada media pit = gak berdaya. Saya ini kecil dan menggemaskan, titisan the hobbit generasi kedelapan. Dengan eye-level lebih rendah dari 1.5m, saya gak bisa moto apa-apa begitu ada orang berdiri di depan saya. Mau ngidupin LCD trus kameranya diangkat setinggi-tingginya dan moto dengan gaya moto pake kamera poket juga masih ketutupan kepala orang depannya. Sedih memang, pengen nangis kadang-kadang. Tapi takdir ini Allah juga yang ngasih, pasti ada hikmahnya :')

JRL sebenarnya agak membangkitkan memori masa-masa kelam dalam sejarah perfotopanggungan saya. Gak bisa masuk pit = berdiri di lautan massa. Rasanya kayak deja vu. Saya jadi inget jamannya (berusaha) moto acara Outloud di Stadion Mandala Krida ditemenin Clara... Jamannya (berusaha) moto The Virgin dan J-Rock di Stadion Kridosono sendirian... Boro-boro mau moto, ngeluarin kamera dari tasnya aja gak bisa gara2 kegencet kimcil-kimcil J-Rockstar. Sekalinya bisa ngeluarin kamera dan mulai ngeker, langsung kealangan kepala atau punggung orang depannya T.T

Bisa moto pun, saya males moto. Saya gak mau galau foto lagi kayak cerita Gomenasai, Carlos.... Ini JRL pertama saya. Saya pengen nikmatin dengan bebas pake mata, tanpa penjara lobang kecil viewfinder dan dengan pentara lensa dan bodi kamera yang berat itu. Mungkin JRL tahun depan atau tahun depannya lagi, saya mau moto :D

Venue JRL - Pantai Carnaval Ancol, Jakarta

Last but not least, baik ngeliput maupun niket, atau jadi volunteer atau apapun, kita harus banget melenggang ke JRL dengan kondisi kaki yang prima. Soalnya venue JRL itu GEDE BANGET. Mungkin kalo diitung jarak tempuh kaki jalan-jalan dari panggung ke panggung selama tiga hari, ada kali berkilo-kilo meter. Kalo kemarin saya hari pertama masih joss banget, semangat '45. Hari kedua dan ketiga kebanyakan duduknya hahaha.

Maaf ya kalo di post ini kesannya JRL penuh penderitaan, ribet, dan gak enak banget. Cocok kan sama judulnya: "Bersakit-sakit Dahulu" hahaha. Tenang aja abis post ini ada post "Bersenang-senang kemudian" kok :D

Saturday, August 6, 2011

JRL 2011 - Riwayatmu Dulu

Pada suatu hari, seorang teman di Jakarta mengirim pesan kepada saya melalui BlackBerry Messenger. Suatu hari itu adalah awal Juni, ketika saya masih menetap di Jogja, sedang giat-giatnya belajar buat ujian skripsi dan kompre. Dan teman itu adalah Kak Rio, seorang fotografer profesional yang saya kenal pas OTBA. Di BBM-nya itu, Kak Rio mengajak saya ngeliput Java Rockin' Land 2011. Saya senang luarrrrrr biasa, sebelum beberapa detik kemudian saya galauuu (¯―¯٥)

JRL adalah tanggal 22, 23, dan 24 Juli. Saya memang belum punya rencana apa-apa dan kalau berdasarkan agenda saja saya bisa langsung mengiyakan. Masalahnya adalah: bulan Juni itu saya ujian skripsi dan kompre, yang subsequent events-nya menentukan kemaslahatan di bulan berikutnya. Kalau tidak lulus: saya harus ujian lagi di bulan Juli buat ngejar wisuda Agustus--dan mungkin saja ujian ulangan itu jatuh pada tanggal 22. Kalau lulus: mungkin saja rumor wisuda dimajuin jadi bulan Juli itu jadi nyata dan saya harus wisuda bulan Juli--yang juga belum pasti tanggalnya. Sebuah dilema tingkat akut.


Saya harus memutuskan dalam tempo satu jam. Sebab, pendaftaran media non partner akan segera ditutup dan
indonesiantunes--media dimana Kak Rio bergabung untuk menyalurkan hobi musiknya--belum ngumpulin nama reporternya yang ngeliput JRL. Akhirnya, setelah semedi dan berdiskusi sama ibu dan teman-teman, saya ngeemail Kak Rio scan-an KTP dan foto buat dikumpulin ke panitia JRL dan dibikinin free passnya--it's a yes.

Sejak itu, saya belajar semakin keras, berdoa semakin ganas (apasih), biar bisa lulus jadi sarjana sekali ujian saja, biar wisuda tetep Agustus gak dimajuin jadi Juli, biar semua acara perwisudaan dan perJRLan berjalan ideal sesuai rencana. Sampai akhirnya tibalah tanggal 22 Juni... yang kemudian menjadi hari saya melepaskan status mahasiswa dan secara resmi berkontribusi pada angka pengangguran negara.


Alhamdulillah Annisa, S.E.

Bersambung...

Thursday, June 16, 2011

Maaf

Menurut saya, saat paling menyedihkan selama jadi anak kos adalah pas lagi sakit. Rasanya pengen pulang ke rumah atau dirawat di rumah sakit aja, biar gak bingung tiga kali sehari nanti makan apa sama siapa di mana, minum obat yang mana sebelum/sesudah makan.

Kalo di rumah kan enak mau makan tinggal ke meja makan pasti ada makanan, trus mandinya bisa pake air panas. Kalo di rumah sakit diinfus jadi cepet sembuh. Makan sama obatnya juga udah diladenin, jadi ga pusing.

Apalagi kalo jomblo dan temen2nya udah berpacar semua. Ke dokter nyetir sendiri, nunggu giliran duduk sendiri, bayar bayar sendiri, mau ketawa aja harus ditahan biar ga diliatin ketawa-ketawa sendiri.

Ps. Saya baru dari dokter dan disuntik loh. Trus abis disuntik pandangan saya kabur, mata ga bisa fokus, ga bisa baca tulisan. Seru banget, belum pernah selama 21 tahun ga bisa ngeliat kayak begitu.

Paringi kuat Gusti.

Friday, June 10, 2011

Surat Untuk Anak Band

Dos and Don'ts If You, Anak Band, Want to Have Some Good Pictures


1/ Gaya.


Anak band harus bergaya. Mulai dari busana, model rambut, sampai tata rias, semuanya harus mantap dan disesuaikan dengan genre musik dan pencitraan yang ingin diciptakan di benak para penonton. Semakin nyeleneh penampilan sebuah band, akan semakin berkesan di hati penonton, dan semakin bagus difotonya.

Contoh yang menurut saya bagus untuk genre musik dan segmen pasar masing2 adalah The Changcuters dan Kuburan Band. Lihatlah betapa niatnya mereka berpenampilan. The Changcuters selalu pakai seragam di setiap aksi panggung dan video clipnya, menata rambutnya dengan luar biasa, sampai akhirnya tertanam di otak kita ciri khasnya. Kuburan Band, gak perlu kita ragukan lagi. Dari segi penampilan mereka sangat joss, niat dan ekstrem banget.

Ini foto Jogja Hiphop Foundation. (Saya belum punya fotonya Changcuters ataupun Kuburan Band, ampun.) Mereka berseragam dan seragamnya terkonsep: sebagai musisi hiphop mereka berpakaian a la hiphop, dan untuk menunjukkan mereka orang Indonesia mereka pakai batik. Semua orang yang lihat mereka di panggung akan langsung tahu mereka adalah musisi hip hop dari Indonesia.

Anak band gak boleh berpakaian alakadarnya karena itu akan sangat terlihat "biasa". Di panggung, anything ordinary is never good. Kalopun "cuma" kemeja, kemejanya harus bagus betul, atau ngejreng betul, atau jelek betul sekalian. Kuncinya adalah harus ekstrem dan terkonsep, biar karakternya kuat.

2/ Ekspresi.

Di atas panggung, anak band harus banget berekspresi. Mulai dari facial expression sampai gesture. Semakin heboh ekspresi anak band di atas panggung, akan semakin senang orang ngeliatnya dan semakin bagus difotonya.

Band-band yang personelnya punya kecenderungan untuk diem aja di belakang stand mic karena harus main gitar/bas/drum/kibor sambil nyanyi, kayak Sum 41 dan Endank Soekamti, harus punya facial expression yang super signifikan. Karena cuma ekspresi wajah lah yang bisa dimaksimalkan. Mereka gak bisa goyang-goyang badan, loncat-loncat, atau berlarian kesana-kemari--kecuali kalo mereka pakai mic model presenter dahSyat yang memungkinkan mereka untuk bebas bergerak.

Endank Soekamti

Haram banget hukumnya anak band cuma berdiri mematung dengan ekspresi wajah datar. Karena itu bloody boring... sebagus apapun musik yang dimainin band itu sebenarnya.

3/ Sadar lampu dan sadar kamera.

Sebisa mungkin para anak band berdiri di tempat yang kena lampu. Biar apa? Ya biar bisa diliat penonton, dan bisa difoto. Memang, ada beberapa panggung yang kejam, dimana spot-spot tertentu gak kena lampu sama sekali dan biasanya drummer yang jadi korban. Tapi panggung pada umumnya enggak begitu kok, apalagi panggung yang lumayan besar.

Dan anak band kalau mau punya foto yang bagus haruslah sadar kamera. Carilah dimana para fotografer itu berada, dan pas mereka mendekat, bergayalah sepol-polnya.

Gaya pol.

Jangan malas bergaya karena gak kenal sama fotografernya. Fotografer panggung itu gampang dicari. Kemungkinannya cuma tiga: kalau bukan fotografer media, mereka fotografer EOnya, atau fotografer ofisial salah satu band yang manggung di acara itu. Kalo udah diajak kenalan trus berteman, fotografer pasti mau kok ngasih fotonya ke anak band yang bersangkutan. Tapi ingat, sebisa mungkin jangan (sampe ketahuan) make-make foto tanpa ijin, karena kalo fotografer lagi iseng, bisa aja copyright itu dipermasalahkan.

Kadang-kadang anak band males dan sedih juga beraksi di panggung kalo penontonnya krik-krik, gak antusias. Tapi ga perlu takut untuk berekspresi, karena seheboh apapun anak band di atas panggung ketika sekrik-krik apapun penontonnya, gak bakalan anak band dikatain freak atau sok asik. Ini panggung man!

Kalau anak band tampil menarik, bukan cuma fotografernya yang senang karena punya foto bagus, tapi juga anak band itu sendiri karena punya foto bagus. Percayalah!

Saturday, June 4, 2011

Oh Panggung - Bagian I

Sheila on 7
Ada teman yang bilang, wajar kalau fotografer perempuan--kali ini: saya--suka foto panggung. Pasalnya, orang-orang di atas panggung itu kebanyakan laki-laki, dan biasanya ganteng. Sama kayak kenapa banyak fotografer laki-laki suka foto model.

Well, yang teman saya bilang itu gak salah, tapi gak sepenuhnya bener juga. Pertama, foto panggung jelas bukanlah foto model berlatar panggung. Dan kedua, yang difoto di panggung itu performers (musisi, penari, pemain teater, dll), bukan model yang bisa kita atur baju dan gayanya. Jadi gak bisa dianalogikan, apalagi disamaratakan, terutama mengingat betapa bedanya besar perjuangan yang harus dilakukan buat moto panggung dan moto model.

Kalau ditanya kenapa saya suka foto panggung, saya akan jawab karena saya senang moto panggung :D

Buat saya, foto panggung, terutama panggung musik, adalah implementasi komprehensif hobi musik dan fotografi. Sadis kan bahasanya, haha. Tapi ini beneran. Mungkin saya udah ga bisa lagi jadi anak band kayak jaman SMA, berdiri di atas panggung main gitar bawain lagu-lagunya Arctic Monkeys dan Franz Ferdinand. Tapi dengan jadi fotografer panggung, saya tetap bisa berkarya di panggung yang sama dengan anak-anak band, naik-naik panggung juga, tapi kali ini bawa kamera, moto.

Percayalah, saya tidak selabil yang teman-teman bayangkan karena (keliatannya kayak) suka gonta-ganti hobi tiap berapa bulan sekali. Saya memang masih mencari jati diri--eaaa--tapi ini bukan hobi baru. Saya sudah suka musik sejak dalam kandungan (lebai abis), dan sudah moto panggung sejak kelas 2 SMP (walaupun fotonya masih abal).

Mungkin ini terdengar agak childish, seperti saya gak ingin tumbuh dewasa. Karena normanya gak seharusnya mahasiswi akuntansi berusia 21 tahun yang sedang menunggu jadwal sidang skripsi dan ujian kompre mikirin panggung yang sering diidentikkan dengan "hura-hura". Tapi ini passion, kayak temen-temen yang suka desain, nulis, dan traveling. Gak salah kan?

Tuesday, May 24, 2011

Teman Datang dan Pergi


GCGC Xacti

Saturday, May 7, 2011

Ayo!

Approximate reading time: 3 minutes.

Teman-teman pasti udah bosen baca atau denger kampanye "Selamatkan Bumi Kita" yang kita disuruh-suruh kurangi penggunaan plastik, hemat air dan listrik, bepergian dengan jalan kaki atau naik sepeda, dan kawan-kawannya. Gak ada yang salah dengan itu, itu memang benar sekali, tapi bagi kita yang sudah melakukan itu semua setiap hari pasti merasa ingin melakukan sesuatu yang lain, yang lebih dari itu untuk Bumi. Beruntunglah kalian, kali ini saya mau berbagi beberapa cara mudah yang lain yang mudah-mudahan gak cliche, untuk menyayangi Bumi kita.

1/ Ayo menyetir dengan bijaksana!
Menyetir motor atau mobil dengan bijaksana adalah menyetir sesuai dengan kebutuhan kita dan kondisi lalu lintas. Contoh: ketika kita lagi perlu buru-buru, nggak apa-apa kita ngebut, asal kondisi lalu lintas memungkinkan: jalanan kosong, atau jalanan rame juga gak apa-apa yang penting semuanya ngebut misalya kayak di jalan tol. Tapi walaupun kita lagi buru-buru, kita sebenernya gak perlu tetep gas pol kalo di depan udah keliatan lagi lampu merah dan ijo-nya masih 40 detik lagi.

Kita bisa lepas gas dari jauh, supaya kecepatan berkurang pelan-pelan, jadi gak perlu ngerem kenceng-kenceng buat berhenti. Atau bisa juga dikira-kira biar pas sampai lampu merahnya pas lampunya udah ijo, jadi malah gak perlu berhenti. Ini bisa menghemat bahan bakar (ketika kita lepas gas, katup yang mengalirkan bensin dari tengki ke mesin itu ketutup, jadi bahan bakar gak ngalir, dan sebaliknya), dan menghemat kampas rem.

Intinya adalah minimalisasi akselerasi kendaraan. Semakin stabil kecepatan kita, misalnya stabil di 80 km/jam, atau stabil di 40 km/jam, semakin hemat konsumsi bahan bakar kita. Semakin kalem kita menyetir, semakin irit pula bensin kita. Nyetir dengan kalem bukan berarti pelan-pelan lho. Nyetir dengan kalem itu maksudnya gak ngegas-ngerem-ngegas-ngerem dan lempeng-lempeng aja, gak zig zag atau ugal-ugalan kayak di film-film.

Menyetir dengan bijaksana bukan hanya menyayangi isi dompet dan persediaan minyak bumi, tapi juga bisa mengurangi global warming. Pasti teman-teman tau lah kalo kita pindah gigi dan ngegas, knalpot kita akan mengeluarkan asap relatif lebih banyak. Jadi semakin dikit ngegas-ngegas (again, menyetir dengan kalem dan stabil), semakin dikit asap-asap jahat keluar dari knalpot.

2/ Ayo masak mi instan pakai air kran!
Mungkin masih ada di antara kita yang masak mi instan pakai air dari galon atau dari kendi penyimpanan air matang. Itu sebenarnya mubazir banget. Kenapa? Karena toh buat masak mi instan, kita akan mendidihkan airnya, yang mana disepakati ketika air mendidih, air itu bebas kuman. Gak peduli air itu dari kran atau dari galon, yang namanya mendidih ya bebas kuman.

Jadi sama-sama bebas kumannya, daripada kita ngabisin gas elpiji (atau minyak tanah, atau kayu bakar) buat memasak kembali air yang sudah matang atau air mineral yang sudah higienis, mendingan kita masak aja air dari kran, trus air yang sudah matang dipake minum atau buat masak yang lain yang ketentuannya gak pakai air mendidih :D

3/ Ayo pilih tempat tinggal yang eco-friendly dan hemat energi!
Tempat tinggal yang eco-friendly contohnya: yang kalau siang sinar matahari bisa menerangi seisi rumah, jadi gak perlu nyalain lampu dan bisa hemat listrik (biasanya rumahnya berjendela besar atau dikasih void). Contoh lain: yang langit-langitnya tinggi biar udaranya sejuk, jadi gak perlu pake AC atau kipas angin. Contoh lagi: yang kamar mandinya gak pake bak mandi, tapi pake shower, karena mandi pakai shower terbukti lebih hemat air daripada jebar-jebur pakai jebor.

Cara nomor 3 ini memang gak bisa kita lakukan setiap hari, karena gak setiap hari kita bikin desain rumah atau milih kosan yang eco-friendly dan hemat energi. Bahkan mungkin kita hanya bisa melakukannya cuma satu kali seumur hidup. So we have to make it count! :)

Kiat-kiat di atas sudah mengalir dalam darah saya karena itu adalah ajaran ibu saya. Jadi saya sudah melakukannya setiap hari. Teman-teman juga yuk! Kalau teman-teman merasa artikel ini bermanfaat, boleh loh disebar :) Ayo!

Treasure

Untuk pertama kalinya selama belasan tahun belajar bahasa Inggris saya mengikuti kelas persiapan tes. Bos saya di Jakarta tidak pernah mau berinvestasi di kelas persiapan tes kecuali kalau memang mau tes dalam waktu dekat, tapi pada kenyataannya dulu pas mau TOEFL ITP juga mereka bilang "udah belajar sendiri aja beli bukunya" zzz. Ya, mereka memang pelit kadang-kadang. Sampai akhirnya saya ikut kelas IELTS Preparation di Cilacs UII Demangan ini adalah sebuah hasil dari teror dan tangis darah yang saya lancarkan pada bos-bos saya hahaha.

Ternyata beda banget kelas persiapan tes sama kelas General English yang saya ikuti selama ini. Di kelas General English, kita mempelajari bahasanya: grammar, vocabulary, dan lain-lain. Di kelas persiapan tes, kita belajar gimana menggunakan bahasanya. Kalo kata instruktur kami Mr. Imam, di kelas ini kita akan belajar cara termudah untuk dapet skor setinggi mungkin. Yang paling berkesan buat saya adalah pelajaran writing, di mana kita diajarin bikin laporan dan nulis essay yang bagus. Soalnya pelajaran ini gak cuma berlaku di IELTS doang, tapi ini adalah pelajaran academic writing yang berterima umum. Belum pernah saya merasa dapet pencerahan secerah ini sebelumnya, sampe di kelas itu saya gak pengen ngecek hape, ngobrol, ataupun surat-suratan sama temen sebelah. Mr. Imam 'there you go' sakti sekali, hahaha.

Beranjak dari keinginan untuk membangkitkan kembali memori-memori rasanya kuliah yang hampir mati sejak berakhirnya semester kemarin, saya memutuskan untuk ikutan les yang diinisiasi oleh Mr. Faiz ini. Pas disebutin siapa aja yang bakal ikutan, saya merasa sangat bahagia. Mereka tak lain tak bukan adalah teman-teman Kelas C saya dulu: Azka Mr. Global, Haryadi Mr. Cool, Mr. Faiz, Mr. Kuma, Agha Mr. Who Cares, dan (semacam) geng saya dari Kasukabe (nama bekennya Kelas B) Miss Clara, Miss Tiwi, Miss Debie, Mr. (Roy) Suryo, dan Bastanta Mr. Hedonist, dan tak ketinggalan Mr. Abang Jaesa ganteng dari Kelas A. Sooo nostalgic :')


Ki-ka: Jaesa, Agha, Haryadi, Debie, Suryo, Mr. Imam, Faiz, Sasa, Tiwi, Azka, Kuma. Clara dan Bastanta, S.E. lagi pulang ke Jakarta jadi gak ikutan foto. Kasihan.

Bersama mereka lah saya kuliah dan belajar bersama di semester pertama saya di FEB, dan ternyata saya ditakdirkan untuk belajar bersama mereka lagi di (mudah-mudahan) semester terakhir saya di Jogja.

Tuesday, April 26, 2011

Demi Masa

Harap Tenang

Demi masa, saya melihat link blog saya di blog teman-teman berembel-embel 3 weeks ago. Sedih, tapi tidak berdaya. Bukan saya gak ngapa-ngapain sampai otak gak belajar hal baru yang bisa di-share, tapi saking ngapa-ngapainnya otak ini rasanya agak crash.

3 weeks ago

Saya punya teman baru namanya Anugerah Suseno, panggilannya Agra. Penting? You bet. Dia adalah seorang fotografer gaul--lebih gaul dari Kakak Wana, HAHA. Thanks to Yahoo Messenger, jarak Jogja-Bandung yang sekitar 600km itu bisa diperpendek jadi tinggal sejauh jarak jemari sama tuts-tuts blekberi. Kami berbincang tentang foto panggung, dan bukan lagi tentang aperture-shutter times-ISO, tapi tentang hal lain. Rasanya saya kayak anak SD yang baru naik kelas.

Agra orangnya baik banget, ramah dan tidak sombong. Saya suka banget foto-fotonya dan twit-twitnya. Perasaan isi otaknya kok sama banget, kayak ngeliat diri sendiri versi cowok. Mudah-mudahan dalam waktu dekat saya dan Agra bisa berkarya di panggung yang sama (amiiin ya Allah) dan itu bisa jadi awal yang baik buat perjalanan saya mencari teman sevisi. Amin.

2 weeks ago

Selasa, 12 April, berasa orang penting. Dari pagi jam 8 sampai sore jam 4 saya di gunung motret acara 1001buku yang kali ini bekerjasama dengan teman-teman dari Fisip UI. Kami berkunjung ke shelter ACT di Hargobinangun kemudian bersenang-senang dengan anak-anak SD dan SMP di shelter warga Dusun Kinahrejo dan Dusun Pangukrejo di (aduh saya lupa nama tempatnya). Acara terdiri dari sesi mendongeng, menggambar dan mewarnai, dan diakhiri dengan pembagian buku.

Satu hal yang bikin miris banget adalah, saya ketemu adik-adik SD Pangukrejo kelas satu sampai kelas enam yang dulu saya ajarin bahasa Inggris pas KKN. Terakhir saya dateng kesana sekolah mereka luluh lantah kena awan panas, dan dengan tinggalnya mereka di shelter itu, berarti rumah mereka pun kayaknya udah gak bisa dipake juga sampe harus ngungsi T.T Tapi saya harus tetap terlihat tegar biar mereka gak sedih lagi. Walau susah banget.

Malamnya, jam 7 sampai jam 9 saya di Prambanan, motret Ramayana Ballet (lagi), tapi beda dari tahun lalu. Kali ini Ramayana Ballet-nya indoor (karena lagi musim hujan), dan saya masuknya gratis dan bisa duduk di mana sadja berkat Fellany gaul, teman saya sejak semester pertama di FEB. Saya diajak nonton dia nari dan masuk lewat backstage. ManteB banget, kawan, lewat backstage menghemat 75 sampai 150 ribu rupiah.

Ramayana Ballet
Fellany

Embah saya bilang, nonton Ramayana Ballet indoor gak seru. Katanya gak ada bedanya sama nonton Ketoprak. Tapi jujur, setelah saya nyobain sendiri nonton indoor, saya jauuuh lebih senang nonton yang indoor. Pertama, anginnya gak sekenceng kalo outdoor (ya iyalah), jadi gak perlu khawatir kedinginan atau masuk angin. Kedua, kursinya empuk ada busanya. Beda banget sama tempat duduk open air theater yang super keras karena terbuat dari batu. Ada sih kursi outdoor yang empuk, tapi itu di kelas VVIP yang HTM-nya Rp 250ribu. Cih.

Terakhir, karena panggungnya kecil, jarak penonton sama penarinya deket, ngeliatnya bisa lebih jelas. Lampu-lampu panggungnya juga bisa masuk frame pas kita moto. Jadi foto panggung Ramayana Ballet kayaknya bagusan pas pentas indoor daripada outdoor hihi. Foto-foto Ramayana Ballet indoor bisa teman-teman lihat di sini :) Fotonya masih klise, tapi udah ada kemajuan dari foto yang dulu haha. Next time better!

Petualangan 12 April belum selesai sampai disitu kawan. Saya terpaksa cabut sebelum Ramayana Ballet-nya selesai karena harus moto di tempat lain jam 10-nya. Walau capek banget banget banget karena malam sebelumnya ga bisa tidur karena terlalu excited dan malam itunya ga bisa tidur juga karena ga bisa pulang karena kosan sudah dikunci, saya tetep seneng banget banget banget. Capek itu ga ada apa-apanya dibandingin pelajaran yang saya dapet dari motret seharian 12 April :)

DIYN
Saya dan band ini menjalin pertemanan yang aneh. Saya seneng moto mereka karena personelnya kece-kece, dan mereka yang sadar mereka kece juga seneng difotoin saya.

1 week ago

Rabu, 20 April, sahabat saya Acie tiba-tiba berusia 20-sekian dan sahabat saya Clara tiba-tiba sudah sarjana! :D

today

Saya akhirnya bisa bermalas-malasan sejenak, begadang sampai subuh ngutak-ngatik template blog diiringi lagu-lagu Katjie & Piering, Frau, dan White Shoes & the Couples Company yang baru saya download kemarin DAN TERNYATA BAGUS BANGET KENAPA GAK DARI DULU YA DENGERINNYA.

Dan FEB UGM kayaknya udah kekurangan lahan parkir beneran. Kemarin, kampus saya tercinta ini meluluskan teman baik saya Haryadi dan Bastanta juga Fufi. Mereka tiba-tiba jadi sarjana juga, mengikuti jejak langkah Clara. Saya? Juni insyaAllah :D

Ps. Teman-teman yang pernah beli tiket pesawat online di website-nya jangan lupa dukung saya yaaa. Ketik REG spasi ANNISA kirim ke 7070. Setiap sms yang masuk akan saya bales langsung dari hape saya. Tengkyuuu! :*

Monday, April 4, 2011

Don't Write What You Know

One of the dumbest things you were ever taught was to write what you know, because what you know is usually dull. Remember when you first wanted to be a writer? Eight or 10 years old, reading about thin-lipped heroes flying over mysterious viny jungles toward untold wonders? That's what you wanted to write about, about what you didn't know. So, what mysterious time and place don't we know?

-- Ken Kesey
Well, you might want to find the answer I made in here =)

Saturday, April 2, 2011

Menabung

Sennheiser CX 300-II

NG 2475

Canon EF 70-200mm f/2.8L IS II USM

Thursday, March 31, 2011

Wanita dalam Kekejaman Dunia

Kalau dipikir-pikir, berbagai baju adat dan kostum tari-tari tradisional atau baju khas Indonesia untuk perempuan sebenarnya kejam. Kebanyakan bentuknya kemben (leher, bahu, dan tangan jadi open air dan bikin yang make terancam masuk angin) dan semuanya ngepres bodi (bikin hanya perempuan berbentuk tubuh ideal yang bagus mengenakannya).


Contohnya adalah kostum Tari Pendet seperti foto di atas. Bayangkan kalau kostum itu dipakai oleh ibu-ibu normal, bukan artis, tinggi/berat 160cm/80kg, dan punya timbunan lemak di lengan dan perut dalam jumlah yang luar biasa berlebih. Timbunan lemak itu bikin badan si ibu jadi gak ada lekukannya lagi, dan kostum Pendet yang notabene hanya dilibet-libet di badan bikin si ibu jadi kelihatan seperti lepet berjalan.

Yang paling sadis adalah pas pose mendak dan kaki dihentak-hentakkan ke lantai (saya gak tahu itu nama posenya apa). Pas itu, sekujur tubuhnya bergetar-getar, termasuk lemak kendur di lengannya jadi goyang-goyang ~.~ Dan ini terjadi, dan saya melihatnya(!!!) kemarin, di event Ujian Tari Bali-nya teman saya Clara dan Tiwi. Saya pengen moto sampe gak tega ya Allah T.T

Contoh lagi: kebaya. Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebaya terbukti lebih indah dipakai oleh perempuan bertubuh skinny, terutama yang tangannya kecil-kecil, atau minimal masih keliatan yang mana lengan, mana dada, dan mana perut. Menurut saya itu kejam banget T.T

Gimana gak banyak perempuan merengek pengen kurus coba T.T Di satu sisi baju-baju itu oke karena mempertajam kewanitaan seorang wanita, di mana pada dasarnya wanita memang harus menjaga berat dan bentuk badannya biar selalu kelihatan oke. Tapi di sisi lain, itu sangat memaksa dan agak kejam sebenarnya T.T

Tuesday, March 29, 2011

Muslims and Balinese Dance

Saya punya cerita pendek banget tentang Bhinneka Tunggal Ika yang sangat menjunjung tinggi kerukunan antarsuku dan antarumat beragama.

Tiwi adalah seorang muslimah tulen blasteran Jawa-Palembang yang kesehariannya memakai jilbab. Anaknya alim bener dan gak neko-neko. Ketika ia harus tampil menari Pendet yang bajunya agak terbuka--yang berasal dari Bali di mana kebanyakan orangnya beragama Hindu--Tiwi tetap menutup auratnya.


Terimakasih untuk Tiwi, saya jadi punya foto sejuta makna :D

Ps 1. Rambut yang keliatan itu adalah rambut palsu, bukan rambutnya Tiwi beneran.
Ps 2. Saya dapet foto ini dari ujian tari bali-nya Tiwi sama Clara, tapi saya gak punya fotonya Clara soalnya pas saya dateng dari kondangan di Magelang Clara udah selesai narinya hiks hiks T.T

Monday, March 28, 2011

OTBA 2011

OTBA 2011

Olimpiade Taman Bacaan Anak (OTBA) 2011 adalah sebuah event yang diselenggarakan oleh 1001buku. Event ini adalah sebuah rangkaian acara yang terdiri dari pameran permainan tradisional dan lomba-lomba--lomba dongeng, maraton permainan tradisional, dan lomba membuat kostum dari bahan-bahan bekas kemasan produk yang berikutnya ditampilkan dengan format fashion show. Diikuti oleh 450 anak dari 45 taman bacaan se-Jabodetabek dan Bandung, acara yang bertajuk "Indonesia Bermain Kembali" ini digelar di Bumi Perkemahan Ragunan pada hari Minggu yang lalu, 20 Maret 2011.

Saya tidak akan menulis liputan yang berterima umum, karena itu sudah banyak di koran, di internet, dan di tivi juga. Saya justru ingin menceritakan konflik batin dan pengalaman saya yang mencekam di acara ini hihi.

Diajakin Mas Bhayu, teman relawan yang saya kenal akhir tahun 2010 di ACT, saya pun bergabung dalam Tim Dokumentasi OTBA 2011. Bos tim dokumentasi saya adalah seorang fotografer profesional, namanya Kak Rio, fotografer majalah Bobo. Kesan pertama yang pasti Kak Rio dapat dari saya adalah saya pendiam, pemalu, dan begoooooo banget. Well, itu tidak salah, terutama ketika saya baru kenalan sama orang, dan ketika kebingungan sendirian. Dan briefing pertama sama Kak Rio sarat dua momen itu: saya baru kenalan dan kebingungan sendirian.

Saya cuma bisa melongo menyimak Kak Rio cerita pengalamannya motret artis-artis terkenal, nyebut-nyebut nama fotografer beken legendaris (yang saya gak kenal), pakai banyak istilah foto yang saya baru denger pas itu (yang kemudian saya hanya ber-"oooh" menebak-nebak maknanya), dan ngasih tips-tips buat moto acara besoknya. Pas itu saya menyadari betapa dangkalnya pengetahuan foto saya dan malamnya saya langsung berkonsultasi sama Abang Wana: konsultasi foto secara teknis dan psikologis--bos gue is a professional photographer mameeen, what if I embarrass myself?

Tapi yasudahlah terima nasib aja, namanya juga belajar :') Saya memang masih amatir dan kayaknya perlu belasan tahun lagi buat jadi profesional kayak Kak Rio atau minimal segaul Abang Wana wkwk. Intinya, walau kepanasan dan muka saya jadi tambah eksotis (baca: gosong), saya belajar banyak sekali dari jadi Tim Dokumentasi OTBA 2011. Saya jadi makin semangat belajar foto biar kalo suatu saat dapet kesempatan punya bos gaul kayak Kak Rio lagi, saya gak melongo-melongo lagi hihi.

Dan dengan motonya saya di OTBA 2011, alhamdulillah berarti saya udah gak galau lagi wkwk.

Friday, March 18, 2011

On The Phone



I was far away from home
Doing what I love and like to do
But these feelings come out of nowhere
I felt so bored and tired of it all

And suddenly the phone rang
It was you and me we spoke and laughed
Yeah we had so much fun on the line
It’s unforgettable

I’ve been loving you since the first time
An hour conversation on the phone
So I wanna thank you for filling the emptiness in me
It’s you who I’ve been dreaming of
I’ve been loving you since the first time on the phone

We’d met before but
Only few words came out of you
I never thought that I could make you mine
And suddenly the phone rang
It was you and me we spoke and laughed
Yeah we had so much fun on the line

It’s so memorable since the first time on the phone
It’s you in my past, my present, and my future

Sheila on 7 - On The Phone
Lagu ini magical, kecuali baris yang warna abu-abu. Rasanya kayak Sheila on 7 bikin lagu buat saya.

Sunday, March 6, 2011

Gomenasai, Carlos...


Your camera ruined my holiday. Not only that, it ruined yours too. You probably daydreamed for months, years maybe about the moment you first set eyes on Machu Picchu, or the Colosseum maybe, or the Golden Gate Bridge. I had too. And when you got there you chose to look at it not through your eyes, those marvelous things that give you such wide field of vision, but through a tiny screen at the back of your digital camera. Then, while you snapped endless inferior photos of the thing you’ve come all this way to see, you made people like me feel bad. Just for walking around looking at this great thing and “getting in the way” as you compose “the perfect picture”.

As you can probably tell, I’m no fan of travel photography. My wife banned me long ago from saying ‘let’s look with our eyes’ while she cradled her SLR. To me it’s pointless and gets in the way of seeing as much as possible. All that effort you all go to and for what? These days we don’t even have albums to flick through. Photos are files on a computer that rarely get looked at. You can see more impressive results by using Google Images. Want your loved ones in the shot? Use Photoshop and save yourself the bother of going anywhere.


Cameras are a barrier to really looking at something
, and to really experiencing a place. Nothing says ‘tourist’ like a chunky Nikon round your neck. And as you’ve probably discovered, the best things in the world can’t be photographed: Victoria Falls in full flow, the Eiffel Tower close up, the time-lapse magic of sunset over the Indian Ocean.


No camera needed. Don’t even think about asking me to say ‘cheese’.

-- Tom Hall, UK travel editor.

Muka saya rasanya kayak ditampar.
Yang Mister Tom bilang itu bener banget T.T Ini adalah definisi kebimbangan saya selama ini. Tapi saya merasakannya lebih ketika nonton pertunjukkan dan (berusaha) moto panggung, bukan travel... Karena saya adalah maniak panggung--dari TK--baik nontonin orang atau tampil sendiri di atasnya. Dan saya tersiksa tiap kali nonton sesuatu... Sebab saya juga maniak foto (lebai) walau bukan foto panggung dan masih mencari jati diri apa sebenarnya genre foto saya -.- Sementara moto dan menikmati langsung pake mata itu kegiatan yang saling meniadakan :(

November 2009, Saung Angklung Udjo di Bandung.
Belum punya tele, dan lagi seneng pake 50mm karena belakangnya bisa blur--pikiran super naif manusia baru mulai pegang kamera kemarin sore, dan belom ngerti lensa apa baiknya dipake pas kapan. Alhasil, saya harus mundur-mundur terus, naik ke undakan-undakan di belakang tempat saya bersama bapak, ibu, dan adik duduk. Kayaknya saya jadi gak menikmati pertunjukan dan jadi gak menikmati fotonya juga.

Februari 2010, Bailamos 1st Annual Show di Taman Budaya Yogyakarta.
Pertama kali pake tele. Tapi masih pake mode auto karena belom ngerti mode manual. Alhasil, flash idup-idup sendiri dan gemerlapan mencari fokus ysng gak ketemu-ketemu. Bukannya nontonin adek-adek imut nari, saya malah sibuk nyari fokus.

Mei 2010, UGM BNI Jazz di Grha Sabha Pramana.
Karena di UGM Jazz gak boleh pake flash, saya terpaksa belajar pake mode gak auto (soalnya kalo auto flash-nya bakal idup-idup sendiri). Pas itu waktunya mepet, Inyo cuma sempat ngajarin pake mode P dan ISO 1600. Hasilnya: noise di mana-mana.

Juni 2010, Loop di Caesar Cafe.
Foto ini gak ada ceritanya. (Boong banget, foto ini ada ceritanya 2 post: Anak Band 2 dan Anak Band 3. Tapi udah saya unpublish. Beruntunglah kalian yang dulu sempat baca). Waktu itu isi otak belom nambah dari mode P, jadi ya gitu. Saya cuma jepret tujuh kali, foto blur ini udah yang paling bagus. Saya gak jeprat jepret karena saya lebih ingin melihat penampilan Loop pakai mata saya langsung, gak lewat kamera.

Danceology
Agustus 2010, Danceology di Taman Budaya Yogyakarta.
Ini adalah pertama kalinya saya moto Tari Latin. (Biasanya saya yang difoto huhu.) Foto di atas adalah pas Rumba, tari latin yang temponya paling lambat. Otak dan hati saya crash banget pas nonton + moto ini. Saya pengen banget menikmati tarian ini santai aja pakai mata, tapi saya juga pengen banget punya foto orang nari. Akhirnya, hampir sepanjang pertunjukan saya nontonnya cuma pakai satu mata lewat kekeran kamera. Karena harus stand by terus... Pertama, saya gak tahu kapan penari itu akan berpose yang bagus buat difoto. Kedua, pose yang bagus buat difoto itu cuma bertahan sepersekian detik dan udah bergerak lagi (ya namanya juga nari). Biar pas ada pose yang bagus, bisa langsung dijepret.

September 2010, Discover Indonesia di Grha Sabha Pramana UGM.
Ini adalah malam pertama saya pakai mode M, karena kondisi moto pas konser ini lebih brutal dari pas UGM Jazz yang bisa diatasi hanya dengan mode P. Wana ngasih tau buat pasang ISO 1600 f5.6 1/50 tanpa saya ngerti maksudnya apa... Tapi ya sudah saya nurut aja sama dewa. Saya bukan dengerin musiknya malah sibuk smsan nanya-nanya gimana cara moto ini biar fotonya ga jelek-jelek amat.

Februari 2011, Concert for Harmony di Purnabudaya UGM.
Alhamdulillah sudah ngerti pake kamera dengan segala keterbatasannya, berkat abang Wana gahul. Tapi kegalauan lain muncul. Pas ini, ternyata saya jepret 456 kali, dan yang layak pajang cuma 7. Dalam hati saya mikir ini saya yang idiot apa emang gitu sih orang kalo moto panggung? Cuma 1.5% yang jadi. Kasian Carlos, ntar cepet abis umurnya dia :(

Maret 2011, Launching Album Pertama DIYN Band di Boshe VVIP Club.
Kalo foto orang nari tantangannya nebak kapan dia bakal berpose gaul dan berapa lama pose itu akan bertahan, kalo foto orang ngeband tantangannya adalah nungguin kapan lampu-lampu itu akan menyorot dengan bagus dan si anak band bergaya yang bagus. Foto saya ini itungannya biasa aja, tapi ini udah yang paling mendingan di antara yang saya punya. 2/559, saya merasa sangat tidak bijak dan bodoh banget make kamera :(

Pasti teman-teman ada yang mbatin, "Kalo emang moto panggung bikin tertekan, ngapain moto? Siapa juga yang nyuruh moto? Kalo mau nonton ya nonton aja, gak usah heboh bawa kamera. Pake tele segala, gede berat. Trus jadi sibuk moto yang hasilnya gak seberapa, dan gak kepake juga. Buat apa? Kenal sama artisnya juga enggak..." dan seterusnya dan seterusnya. Saya tuh bingung :( antara "ya udah ga usah moto, liat pake mata aja dan direkam di otak" tapi "sayang kalo gak ada fotonya" dan merasa berkewajiban untuk punya foto yang bagus gara-gara udah dimodalin kamera :((

Udah gitu, gara-gara bawa kamera pas nonton pertunjukkan juga, kesempatan yang sebenarnya bisa jadi quality time bersama teman menonton kita, jadi terlewatkan begitu saja karena terlalu sibuk moto, yang pada akhirnya cuma "so what kalo ada fotonya?". Kayak di Saung Udjo, saya kesana sama bapak, ibu, adik yang udah jarang ketemu karena saya kuliah di Jogja. Pas ketemu, saya malah asik mota-moto sendiri. Trus pas nonton UGM Jazz, saya kesana sama teman-teman wanita saya full team. Tapi saya gak ngobrol juga sama mereka karena terlalu bersemangat moto.

Saya berniat datang ke Econofest hari Sabtu kemarin, motret teman saya Yudi pas lagi ngeMC dan mungkin beberapa pose lain pakai gitar, trus fotonya diframe buat kado ulang tahunnya sebentar lagi. Tapi saya gak jadi berangkat, karena saya sedang enggan menyentuh kamera saya. Dan kalau saya berangkat tapi gak bawa kamera, saya yakin saya akan menyesal dan merasa lebih bersalah.

Mungkin saya sedang bosan. Mungkin juga saya sedang merasa belajar foto gak ada gunanya.