Wednesday, January 26, 2011

Bandung!

Singkat cerita, liburan semester saya kali ini jadi aneh sekali gara-gara Mandala berhenti beroperasi per 13 Januari lalu. Seandainya Mandala berhenti beroperasinya gak tanggal 13 tapi tanggal 2o, tanggal 19-nya saya masih bisa terbang ke Singapura dan menghabiskan 4 hari bersama teman lama saya Dicky Eka yang bersekolah di sana sejak SMA. Hati ini hancur tiada tara mengingat betapa saya sudah merencanakan perjalanan ini sejak dua bulan sebelumnya, betapa saya bersemangat untuk segera menyelesaikan ujian dan berfoto di Universal Studios, dan betapa-betapa lainnya :( Dan akhirnya, saya pergi ke Bandung bersama bapak, ibu, dan adik saya Jojo.

Day 1

Sepeda Ria Bapak dan Jojo

Acara pergi ke Bandung ini--saya tidak mau menyebutnya liburan--bermula dari keinginan bapak dan adik saya sepedahan ke sebuah warung bandrek yang melegenda di kalangan para pesepeda. (Bapak saya maniak sepeda.) Yang menjadikan warung bandrek itu istimewa adalah--katanya, soalnya saya gak ikut sepedahan kesana--warung bandrek itu punya cerita.

Ceritanya: untuk mencapai warung bandrek itu para pesepeda harus mendaki tanjakan yang curam dan panjang. Kalau dideskripsikan dengan kata-kata ya memang begitu doang: para pesepeda harus mendaki tanjakan yang curam dan panjang. Tapi coba teman-teman bayangkan, atau kapan-kapan cobain sendiri, sepedahan di tanjakan deket rumah yang panjangnya cuma beberapa puluh meter aja. Kalo gak biasa itu lumayan bikin ngos-ngosan. Nah buat ke warung bandrek ini tanjakannya ribuan meter, nonstop.

Bapak saya tentu saja gak gowes-gowes dari Jakarta. Sepedanya dipreteli dan dimasukin bagasi mobil dan dibawa sampai Tangkuban Perahu dan mulai digowes-gowes ke Bandung dari sana. Kalau Jojo baru ikut sepedahannya hari kedua yang dari Dago atas ke warung bandrek.

Foto ini memang tidak mencerminkan jalanan Lembang atau Bandung di mana bapak saya sepedahan waktu foto ini diambil. Tapi foto ini menunjukkan betapa senengnya bapak saya sepedahan. Belum pernah sebelumnya saya lihat bapak saya segembira itu difoto *.* (Coba aja liat foto-foto yang lain, mukanya malesin semua heheh.)

Kawah Domas, Gunung Tangkuban Perahu

Saya hanya ingat pemandangan hutan karet dalam perjalanan dari Jakarta ke Tangkuban Perahu sejak memasuki daerah Sadang. Saya ingin berfoto di hutan karet itu karena bagus tapi apa daya kepala ini udah pusing gara-gara jalan yang berliku dan di luar gerimis juga. Beberapa jam kemudian, mobil kami memasuki objek wisata Gunung Tangkuban Perahu dan parkir di depan gerbang menuju kawah terdekat yaitu Kawah Domas.

Ketika sampai, saya masih pusing. Udara dingin langsung menerpa dan menusuk sampai ke tulang begitu keluar dari mobil. Dan menit berikutnya tiba-tiba saya sudah berada di tengah hutan (yang rasanya seperti) tiada akhir...

Hutan Tiada Akhir

Pas saya tanya Jojo sampai kapan jalan kaki di tengah hutannya, dia bilang setengah jam, dan baliknya 45 menit karena nanjak. "Ada tulisannya kok di depan," kata Jojo. Awalnya saya gak percaya, tapi ternyata Jojo gak becanda!

Saya gak lihat papan ini pas lewat gerbang -_____-"
Gaul banget tulisannya "Halp an hour walk..."

Di tengah hutan belantara, ada pengrajin batang pakis yang menjual kerajinannya. Well, sebenarnya satu-satunya kerajinan yang dikerjakan oleh si pengrajin adalah menggergaji batang pakis itu. Karena motif yang seperti ukir-ukiran itu sudah ada dari sananya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. (Jadi inget pelajaran biologi waktu SMA dulu liat penampang batang tumbuhan pakis lalalalala...)

Sejujurnya saya gak tahu batang ini buat apa dan harganya berapa dan saya gak nanya.
Untung ambil foto gak disuruh bayar :D

Setelah halp an hour walk through tropical rainforest (hahaha), akhirnya kami tiba juga di tulisan "Kawah Domas" lagi. Sejauh ini, jalan yang dilalui kalem dan landai-landai saja. Tapi abis ngelewatin gerbang ini, jalannya mulai brutal! Pas berangkat, jalannya turunan semua (Kan ceritanya mau turun ke dalam kawah). Gak ada masalah kecuali ada ruas yang licin jadi harus ekstra hati-hati. Yang agak kocak pas baliknya. Semua orang yang tadinya ngobrol langsung jadi diam seribu bahasa, udah gak sanggup lagi berkata-kata napasnya udah abis buat nanjak.


Setelah melewati turunan yang curam dan agak licin sambil ketar ketir baliknya bakal nanjak, akhirnya sampai juga saya, bapak, ibu, dan Jojo di Kawah Domas.


Kesan pertama yang didapat sesampainya di kawah adalah sumuk dan silau, hahaha. Rasanya kayak lagi di kukus. Kontras banget sama udara dingin di sepanjang halp an hour walk through tropical rainforest. Tapi itu wajar, namanya juga di kawah gunung yang masih aktif. Yang saya harapkan bau belerang malah gak kecium.

Di kawah, orang ramai mengelilingi kubangan air panas(?) dan merendam kakinya di sana. Tapi ada juga kubangan yang gak disentuh karena suhunya terlalu tinggi. Saya sih gak ikut-ikutan. Saya dan Jojo lebih sibuk pengen ngerebus telor di kawah kayak di game Harvest Moon. (Tapi akhirnya gak jadi soalnya kata abangnya rasanya gak enak.)

Hampir di seluruh permukaan kawah ada air yang sedang mendidih sampai keluar plukutuk-plukutuk gitu. (Tapi walau mendidih, suhunya kayaknya gak sampe 100 derajat celcius karena di dataran tinggi tekanannya rendah jadi titik didih didihnya turun, makanya masih bisa dilewatin.) Tinggal airnya seberapa banyak, dan suhunya setinggi apa. Kalo airnya dikit, plukutuknya kecil dan uapnya gak keliatan. Kalo airnya banyak, plukutuknya heboh dan uapnya ngepul-ngepul. Kayak foto di bawah ini.


Atas: Kepulan uap air. Bawah: plukutuk yang heboh.

Jadi, dari pengalaman saya kemarin, ada beberapa tips yang insyaAllah bisa bermanfaat untuk menikmati jalan-jalan ke kawah-kawah di Gunung Tangkuban Perahu:

1 / Pakai sepatu. Atau kalau males pakai sepatu, pakai sendal juga gapapa yang penting nyaman dipakai jalan kaki jauh (jauh = 1 km lebih) di tanah, batu, dan rute yang terjal, licin, dan berliku. Kemarin saya pakai sendal. Sendalnya bole minjem pula, jadinya gak nyaman banget. Saya gak tahu kalo bakal jalan kaki sejauh itu jadi gak bawa sepatu.

2 / Bawa sunglasses. Tidak ada pepohonan tumbuh di tengah kawah. Alhasil, matahari bisa dengan bebasnya menyinari kawah dan cahayanya dipantulkan lagi oleh permukaan kawah yang warnanya terang itu. Pokoknya silau banget, cahaya di mana-mana *.* Bapak dan Jojo hampir gak bisa melek. Saya gak bisa liat hasil foto saking silaunya... fotonya jadi berantakan =.= Kalo ibu saya kemana-mana bawa cengdem jadi aman.


Day 2

Gedung Sate

Tenang, saya gak akan membahas sejarah Gedung Sate atau keindahan arsitekturnya apalagi bikin foto cliche Gedung Sate tampak depan, karena udah banyak post yang bagus dan lengkap tentang itu (bisa dilihat disini dan disini). Yang akan saya ceritakan adalah bagaimana saya dan ibu saya bisa berfoto berlatar Gedung Sate tampak belakang di hari Minggu pagi, dan tanpa pager ikut-ikutan jadi background.

Minggu pagi, hari kedua jalan-jalan kami, rombongan pecah jadi dua. Bapak dan Jojo sepedahan ke warung bandrek, saya dan ibu gak tahu mau ngapain. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk foto di Gedung Sate.

Masalahnya, Gedung Sate itu adalah kantor gubernur, yang gak dibuka untuk umum apalagi hari Minggu, kayak kita gak bisa sesukanya masuk ke istananya Fauzi Bowo di Medan Merdeka Barat atau istana gubernur di seberangnya Benteng Vredeburg di Malioboro. Kalo kata tulisan di pagernya, "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!".

Selain itu, setiap Minggu pagi di Lapangan Gasibu seberangnya Gedung Sate ada pasar kaget kayak Sunday Morning di UGM. Pasar itu bikin kotor, macet, tapi banyak orang suka makanya ada terus walau sudah diupayakan untuk dilenyapkan atau dipindah dari lokasi itu. Keramaian itu bikin susah banget cari parkir. Saya dan ibu sampai muterin Gedung Sate dua kali buat cari tempat parkir yang dirasa paling strategis. Dan akhirnya dapet, di belakang Gedung Sate. Jauh bok =.= Ibaratnya kalo di jam tuh kita mau foto di angka 12, tapi parkirnya di angka 6. Jalan kaki bolak balik jaraknya udah sama kayak muterin Gedung Sate satu keliling.

Saya dan ibu pusing. Gimana ini mau fotonya =.=

Dalam perjalanan dari angka 6 ke angka 12, saya dan ibu berusaha mengambil foto dari luar Gedung Sate. Tapi susah. Karena ada banyak pohon di setiap beberapa meter yang bikin Gedung Sate-nya jadi ketutupan. Dah gitu, ada pagernya juga. Pokoknya kalo dipaksain jadinya gak jelas deh itu foto maksudnya apa hahaha. Cuma jadi kayak foto berlatar pager dan pohon-pohon. Tadinya saya pengen manjat tapi gak jadi, kriminal banget takut ditangkep polisi.

Sampai akhirnya, ada pager Gedung Sate yang terbuka yang dijaga satpam. Yang ada tulisannya "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk" itu. Tapi karena kami berkepentingan, yaitu mau foto, akhirnya kami masuk dan merayu pak satpamnya biar boleh masuk cuma buat foto doang. Kami bisa melihat kepanikan dan konflik batin di mata pak satpam itu. Di satu sisi dia tahu saya dan ibu saya harmless dan beneran cuma pengen foto doang. Tapi di sisi lain dia takut dimarahin sama para pejabat karena mengizinkan rakyat jelata seperti saya dan ibu saya masuk untuk berfoto. "Ntar kalo orang lain pada pengen masuk juga gimana?"

Tapi akhirnya pak satpam itu mengizinkan kami masuk dengan meninggalkan kartu identitas--saya menggadaikan KTM saya karena ibu saya gak bawa dompet. Selain itu, pak satpamnya juga sangat mewanti-wanti untuk foto-fotonya jangan sampai ke bagian depan Gedung Sate, soalnya gak enak kalo diliat rakyat jelata lain atau polisi yang berjaga di depan gedung. Yasudah kami pun manut karena itu saja sudah cukup.

Dan inilah foto yang didapat dengan susah payah itu...

Ibu saya dengan cengdem dan ultimate pose-nya di Gedung Sate tampak belakang.

Sebelum kami meninggalkan kompleks Gedung Sate setelah puas berfoto, kami pun berfoto bersama pak satpam dan pager yang ada tulisannya "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk" itu hihihi.


Museum Geologi

Sebagian (besar) orang berpikir berwisata ke museum adalah hal yang membosankan atau kerajinan. Ini beneran loh. "Rajin banget lo Sa libur-libur ke museum!" adalah komentar yang tulus yang secara reflek dilontarkan oleh teman saya Yudi mendengar cerita saya akan pergi ke Museum Geologi di Bandung.

Bukannya saya sok pinter atau sok rajin, tapi sejak muda (baca: SD) saya memang senang ke museum. Buat saya, ke museum adalah cara belajar yang sangat efektif. Misalnya Museum Iptek di TMII. Museum itu bagus banget buat belajar fisika. Kalau mau belajar sejarah, kita bisa main ke museum-museum kayak Museum Nasional a.k.a Museum Gajah di Jakarta, Monjali di Jogja, Museum Geologi di Bandung, dan museum-museum sejarah lainnya. Di museum-museum itu, pelajaran sejarah jadi menyenangkan karena biasanya ada guide nya, yang pada umumnya bisa menceritakan isi buku sejarah tanpa bikin ngantuk lengkap dengan trivianya.

Kalo Museum Geologi yang ada di Bandung ini bagus banget buat mengerti bab Zaman Prasejarah. Semua materi di bab Zaman Prasejarah di buku kita waktu SMP dan SMA ada di sini dan tidak membosankan. Pokoknya museum ini bagus banget buat dikunjungi pas study tour anak sekolah dan mahasiswa teknik geologi apalagi kalau gurunya bisa memanfaatkan koleksi museum sebagai peraga secara optimal.

Koleksi Museum Geologi yang paling mantap adalah fosil T-Rex! :D

Trivia

Baru sekali saya menginap di kamar hotel yang kamar mandinya ada jendelanya *.*

Dan ini adalah foto air terjun di kolam renang hotel tempat saya bapak ibu dan Jojo menginap. Fotonya gak pake tripod. Saya seneng banget hehehe...

Kiri: 1/500" | Kanan: 1/6"

Wednesday, January 19, 2011

Another Goodbye?



Secondhand Serenade - Goodbye

It's a shame that it had to be this way
It's not enough to say I'm sorry
It's not enough to say I'm sorry

Maybe I'm to blame
Or maybe we're the same
But either way I can't breathe
Either way I can't breathe

All I had to say is goodbye
We're better off this way
We're better off this way

I'm alive but I'm losing all my drive
Cause everything we've been through
And everything about you
Seemed to be a lie
A guiltless twisted lie
It made me learn to hate you
Or hate myself for letting it pass by

All I had to say is goodbye
We're better off this way
We're better off this way

And every, everything isn't only
What it seemed so hold these
Words that you never told me
It's time to say goodbye
It's time to say goodbye
It's time to say goodbye
Goodbye

Bye

Take my hand away
Spell it out
Tell me I was wrong
Tell me I was wrong

Thursday, January 13, 2011

Carlos and I

This is Carlos, my Canon 1000D. This picture's taken using my cellphone camera.

I am using a DSLR, but I'm not a photographer. I don't have any photography portfolio like Wana Darma, nor equip my camera with cool and expensive accessories like Rusdy Razak. And I don't do the so-called "photo hunting"--the word frightens me, like I can't go home unless I got some good pictures.

It's usual for photographers to lend each other cameras and lenses, but--I'm gonna say this again--I'm not a photographer! Or not yet! So I'm begging not to treat me like one.

"Sa, aku mau pinjem kamera yah" is the most bothering request ever. Not that I don't trust my photographer friends who know a lot more about cameras, lenses, and photography, but what if something happens? Like if the autofocus's suddenly not working or the LCD cracked, or your friends brought some "compliments" like scratch or undesired smell when he/she returns the camera.

I don't like the idea of letting my camera out of my sight. It sucks not having control of your belongings' quality. Maybe some of you think "Ya elah 1000D aja cerewet banget. DSLR murmer sejuta umat. Kalo kameralo 50D tuh baru...", but for me, Carlos is precious and important. And I have a responsibility to take a good care of my belongings. So I am not lending my camera unless I'm coming along.

I'm being stingy? Well feel free to call me anything. In my point of view, I'm just being responsible to my parents who bought me Carlos, and I believe everyone has the right to lend their cameras or not, and we should respect that.

"My camera is like my toothbrush and underwear. I don't lend it to anybody." - @annisa89

Thursday, January 6, 2011

My 10 Magical Songs

10 / You're So Great by Blur
Saya bukan penggemar Blur. Saya bahkan gak tau nama personel2nya. Saya cuma suka lagu ini. Kalo gak salah saya dapet pas kelas tiga SMP dari teman saya yang saya taksir waktu itu namanya Damar. Lagu ini sangat sederhana, cuma orang nyanyi sambil main gitar dikasih efek dikit trus direkam. Yang nyanyi aja kayak lagi mabok dan false2 gitu. Tapi mungkin justru karena itu, lagu ini jadi romantis, asik, dan unik.




9 / River Flows in You by Yiruma Pertama kali dengar lagu ini di blog-nya Charitsa Baehaki. Namanya juga lagu magical, sekali dengar langsung jatuh hati. Lagu ini adalah salah satu soundtrack film Twilight. Lame? Tidak juga. Paramore aja ikutan ngisi soundtracknya Twilight. Walaupun filmnya sangat lebai dan menye-menye--no offense--album soundtracknya bagus loh, 8/10.





8 / Heartstrings by Secret Garden
Lagu ini adalah lagunya Secret Garden yang paling cepat saya kuasai karena dimainin di C. Seperti River Flows in You, lagu ini adalah lagu instrumental yang bikin nangis sekaligus ngantuk, dan sangat menyayat hati terutama di nada2 tinggi yang dicapai oleh biolanya. Denger lagu ini rasanya damaaaiii banget. Langsung kebayang lagi duduk di tepi danau di negeri dongeng, di mana sinar matahari tumpah ruah tapi udara tetap sejuk. Ada banyak bunga dan kupu-kupu beterbangan, pokoknya romantis banget apalagi kalo udah punya pacar haha (gakjelas).


7 / My Sacrifice by Creed
Pertama kali denger lagu ini pas kelas satu SMP, di acara hiburan MOS. Waktu itu saya dan murid baru lainnya masih pakai seragam SD. Saya masih ingat betul gitaris band kelas tiga yang membawakan lagu ini namanya Tri Lastiko, dipanggilnya Kak Tiko. Saya sangat menyesal gak inget personel band lainnya :( Mungkin--mungkin loh ya--drummernya Kak Agam, basisnya Kak Gilang.

Lagu ini jadi magical karena banyak hal. Pertama, suasana saat menyaksikan aksi panggung Kak Tiko dkk sangat mendukung. Sore itu hawa mulai sejuk, matahari sudah tidak bersinar sesadis sebelumnya, angin bertiup sepoi-sepoi, benar-benar nyaman setelah kepanasan dijemur seharian.

Kedua, minimnya isi otak saya dan teman-teman yang notabene baru lulus SD itu. Melihat kakak kelas tiga yang beda usianya 'hanya' dua tahun itu ngeband, bisa nyanyi sambil main gitar bawain lagu rock dengan apiknya, rasanya WOW banget. (Meskipun dua tahun kemudian ketika saya yang jadi kakak kelas tiga akhirnya mengerti, ternyata dalam dua tahun isi otak banyak sekali yang berubah dan bertambah, termasuk dari gak bisa main gitar jadi bisa main gitar, dari gak punya pacar jadi punya pacar, dan masih banyak lagi.)

Ketiga, karena lagu ini memang bagus T.T apalagi reff nya. Waktu itu jelas saya gak tau liriknya, gak ngerti maksud lagunya. Tapi lagu itu kedengarannya daleeeeeemmm banget. Sangat mengharukan sampai rasanya ingin meneteskan air mata.

6 / Defying Gravity by Glee Cast
Dulu, saya tidak tertarik menonton Glee. Mungkin karena sudah terlalu banyak orang menontonnya. Mungkin juga karena Glee gak bikin lagu sendiri kayak Camp Rock dan High School Musical. Mungkin juga karena di kos saya di Jogja tidak ada tv kabel.

Hingga pada suatu hari, saya dan adik saya Jojo sedang menonton tv bersama ketika salah satu episode Glee ditayangkan. Saya gak tahu itu episode berapa, judulnya apa, yang jelas di episode itu anggota Glee Club lagi pakai kursi roda, berjualan kue, dan Rachel dan Kurt melakukan audisi untuk mendapatkan solo lagu Defying Gravity ini.

Saya langsung suka lagu ini pertama kali saya mendengarnya T.T Gara-gara lagu ini saya jadi menonton serial Glee, dan punya semua soundtrack-nya. Walau saya agak telat dan ceritanya agak gak masuk akal, saya suka sekali serial ini karena melihat orang-orang itu menari dan menyanyi membuat saya bahagia.

5 / My Immortal (Acoustic Version) by Evanescence
Saya sedang tertidur di mobil Mbak Yoan yang disetirin adiknya, Igo, dalam perjalanan dari Bandara Selaparang menuju rumah Mbak Yoan di Praya untuk menghadiri pernikahannya. Flashdisk Igo memuat banyak lagu, tapi hanya lagu ini yang benar-benar menarik kuping saya. Saya langsung terbangun, mendengarkan lagu ini dengan sungguh-sungguh, dan berkata pada teman saya Clara, "Clar, sampe Jogja kita rekaman lagu ini.", lalu saya kembali tertidur. (Tapi sampe post ini dibuat saya dan Clara belom jadi2 rekaman gara2 bingung mau ngerekamnya pake apa -___-")


4 / When You Love Someone by Endah n Resha
Teman saya Yudi yang memaksa saya mendengarkan lagu ini. Awalnya saya agak males karena mengingat Yudi yang ngasih, roman2nya bakal ngejazz2 gitu. Tapi ternyata tidak. Saya menyesal baru mendengarkan lagu ini beberapa minggu setelah dikasih. Lagu ini magical karena sangat menceritakan kisah cinta tak berbalas saya sama Mas K, word by word. Saya menangis mendengarnya. Tanya Yudi kalo gak percaya.




3 / With Me by Sum 41
Dapet lagu ini dari playlist teman saya Wana. Lirik lagu ini tidak ada hubungannya dengan apapun saat pertama kali saya mendengarnya dan memutuskan lagu ini magical--meskipun selang beberapa waktu lirik lagu ini jadi agak melukiskan isi hati saya. Saya memutuskan lagu ini adalah lagu yang magical karena--sederhana saja--saya sangat suka aransemennya. Tipe-tipe lagu yang law of diminishing return tidak berlaku padanya. Ingin sekali rasanya dapet kesempatan buat manggung bawain lagu ini.


2 / Seandainya by Vierra
Saya masih ingat betul kali pertama saya mendengar lagu ini. Sore hari, saya sedang menyetir Momo sendirian di Jalan Cik Ditiro. Saya sedang sangat bosan dengan lagu-lagu di flashdisk saya, jadi saya menyetel Swaragama FM. Dan lagu ini diputar begitu saja... tanpa ada cuap-cuap dari penyiar radionya menyebutkan judul lagu atau penyanyinya.

Lagu tentang mantan, pas banget sama suasana hati saya ketika itu. Saya ingin menangis mendengarnya. Waktu itu lagu ini belum menjadi hit, tapi saya tahu piano itu adalah kerjaannya Kevin Aprilio dan suara itu adalah suaranya Widy. (Hari gini, siapa lagi? Gak mungkin Kangen band bawain lagu macam itu.) Saya langsung membeli CD-nya keesokan harinya dan langsung mendengarkan lagunya satu-persatu. Dan ketemu, track 11 di album My First Love, judulnya Seandainya.

Jangan memandang sebelah mata lagu-lagu band asal Jakarta ini karena banyak yang mengaitkannya dengan ababil autis. Coba kalau kita lihat pada masa Vierra meluncurkan album pertamanya yang berisi salah satunya lagu ini, Vierra bisa jadi adalah satu dari hanya beberapa band baru yang tidak bergenre dangdut ataupun melayu seperti yang menjamur pada masa itu. Bukannya saya benci dengan band-band bergenre melayu itu, hanya saja kadang-kadang saya rindu pada masa di mana Sheila on 7, Padi, dan Dewa berjaya di Indonesia dengan lagu-lagu pop-rock-nya.

1/ Hell Song by Sum 41
Lagu ini adalah lagu yang band saya bawakan pada aksi panggung pertama kami waktu kelas 1 SMA di acara GK (saya gatau GK kepanjangannya apa -___-") acara ulang tahun SMA saya. Saya tidak bisa berkata-kata untuk menceritakan lagu ini. Teman-teman harus mendengarnya sendiri, kalau bisa jangan pake speaker laptop atau speaker hape. Lagu ini oke banget T_____T

Kayaknya dulu Mas Derrick dkk bingung mau ngasih judul lagu ini apa, soalnya gak ada hubungannya lirik lagunya sama neraka. Mungkin karena saking kerennya lagu ini, akhirnya dikasih judul Hell Song aja. Kayak Hell Yeah gitu, hahaha. Mungkin :D



Gambar dari Google

Saturday, January 1, 2011

3/110

Malioboro, Yogyakarta.

The Street
The Street

Dear John
Dear John

House of Iron Horse
House of Iron Horse

Tahun ini saya harus lebih rajin belajar fotografi :)