Thursday, March 31, 2011

Wanita dalam Kekejaman Dunia

Kalau dipikir-pikir, berbagai baju adat dan kostum tari-tari tradisional atau baju khas Indonesia untuk perempuan sebenarnya kejam. Kebanyakan bentuknya kemben (leher, bahu, dan tangan jadi open air dan bikin yang make terancam masuk angin) dan semuanya ngepres bodi (bikin hanya perempuan berbentuk tubuh ideal yang bagus mengenakannya).


Contohnya adalah kostum Tari Pendet seperti foto di atas. Bayangkan kalau kostum itu dipakai oleh ibu-ibu normal, bukan artis, tinggi/berat 160cm/80kg, dan punya timbunan lemak di lengan dan perut dalam jumlah yang luar biasa berlebih. Timbunan lemak itu bikin badan si ibu jadi gak ada lekukannya lagi, dan kostum Pendet yang notabene hanya dilibet-libet di badan bikin si ibu jadi kelihatan seperti lepet berjalan.

Yang paling sadis adalah pas pose mendak dan kaki dihentak-hentakkan ke lantai (saya gak tahu itu nama posenya apa). Pas itu, sekujur tubuhnya bergetar-getar, termasuk lemak kendur di lengannya jadi goyang-goyang ~.~ Dan ini terjadi, dan saya melihatnya(!!!) kemarin, di event Ujian Tari Bali-nya teman saya Clara dan Tiwi. Saya pengen moto sampe gak tega ya Allah T.T

Contoh lagi: kebaya. Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebaya terbukti lebih indah dipakai oleh perempuan bertubuh skinny, terutama yang tangannya kecil-kecil, atau minimal masih keliatan yang mana lengan, mana dada, dan mana perut. Menurut saya itu kejam banget T.T

Gimana gak banyak perempuan merengek pengen kurus coba T.T Di satu sisi baju-baju itu oke karena mempertajam kewanitaan seorang wanita, di mana pada dasarnya wanita memang harus menjaga berat dan bentuk badannya biar selalu kelihatan oke. Tapi di sisi lain, itu sangat memaksa dan agak kejam sebenarnya T.T

Tuesday, March 29, 2011

Muslims and Balinese Dance

Saya punya cerita pendek banget tentang Bhinneka Tunggal Ika yang sangat menjunjung tinggi kerukunan antarsuku dan antarumat beragama.

Tiwi adalah seorang muslimah tulen blasteran Jawa-Palembang yang kesehariannya memakai jilbab. Anaknya alim bener dan gak neko-neko. Ketika ia harus tampil menari Pendet yang bajunya agak terbuka--yang berasal dari Bali di mana kebanyakan orangnya beragama Hindu--Tiwi tetap menutup auratnya.


Terimakasih untuk Tiwi, saya jadi punya foto sejuta makna :D

Ps 1. Rambut yang keliatan itu adalah rambut palsu, bukan rambutnya Tiwi beneran.
Ps 2. Saya dapet foto ini dari ujian tari bali-nya Tiwi sama Clara, tapi saya gak punya fotonya Clara soalnya pas saya dateng dari kondangan di Magelang Clara udah selesai narinya hiks hiks T.T

Monday, March 28, 2011

OTBA 2011

OTBA 2011

Olimpiade Taman Bacaan Anak (OTBA) 2011 adalah sebuah event yang diselenggarakan oleh 1001buku. Event ini adalah sebuah rangkaian acara yang terdiri dari pameran permainan tradisional dan lomba-lomba--lomba dongeng, maraton permainan tradisional, dan lomba membuat kostum dari bahan-bahan bekas kemasan produk yang berikutnya ditampilkan dengan format fashion show. Diikuti oleh 450 anak dari 45 taman bacaan se-Jabodetabek dan Bandung, acara yang bertajuk "Indonesia Bermain Kembali" ini digelar di Bumi Perkemahan Ragunan pada hari Minggu yang lalu, 20 Maret 2011.

Saya tidak akan menulis liputan yang berterima umum, karena itu sudah banyak di koran, di internet, dan di tivi juga. Saya justru ingin menceritakan konflik batin dan pengalaman saya yang mencekam di acara ini hihi.

Diajakin Mas Bhayu, teman relawan yang saya kenal akhir tahun 2010 di ACT, saya pun bergabung dalam Tim Dokumentasi OTBA 2011. Bos tim dokumentasi saya adalah seorang fotografer profesional, namanya Kak Rio, fotografer majalah Bobo. Kesan pertama yang pasti Kak Rio dapat dari saya adalah saya pendiam, pemalu, dan begoooooo banget. Well, itu tidak salah, terutama ketika saya baru kenalan sama orang, dan ketika kebingungan sendirian. Dan briefing pertama sama Kak Rio sarat dua momen itu: saya baru kenalan dan kebingungan sendirian.

Saya cuma bisa melongo menyimak Kak Rio cerita pengalamannya motret artis-artis terkenal, nyebut-nyebut nama fotografer beken legendaris (yang saya gak kenal), pakai banyak istilah foto yang saya baru denger pas itu (yang kemudian saya hanya ber-"oooh" menebak-nebak maknanya), dan ngasih tips-tips buat moto acara besoknya. Pas itu saya menyadari betapa dangkalnya pengetahuan foto saya dan malamnya saya langsung berkonsultasi sama Abang Wana: konsultasi foto secara teknis dan psikologis--bos gue is a professional photographer mameeen, what if I embarrass myself?

Tapi yasudahlah terima nasib aja, namanya juga belajar :') Saya memang masih amatir dan kayaknya perlu belasan tahun lagi buat jadi profesional kayak Kak Rio atau minimal segaul Abang Wana wkwk. Intinya, walau kepanasan dan muka saya jadi tambah eksotis (baca: gosong), saya belajar banyak sekali dari jadi Tim Dokumentasi OTBA 2011. Saya jadi makin semangat belajar foto biar kalo suatu saat dapet kesempatan punya bos gaul kayak Kak Rio lagi, saya gak melongo-melongo lagi hihi.

Dan dengan motonya saya di OTBA 2011, alhamdulillah berarti saya udah gak galau lagi wkwk.

Friday, March 18, 2011

On The Phone



I was far away from home
Doing what I love and like to do
But these feelings come out of nowhere
I felt so bored and tired of it all

And suddenly the phone rang
It was you and me we spoke and laughed
Yeah we had so much fun on the line
It’s unforgettable

I’ve been loving you since the first time
An hour conversation on the phone
So I wanna thank you for filling the emptiness in me
It’s you who I’ve been dreaming of
I’ve been loving you since the first time on the phone

We’d met before but
Only few words came out of you
I never thought that I could make you mine
And suddenly the phone rang
It was you and me we spoke and laughed
Yeah we had so much fun on the line

It’s so memorable since the first time on the phone
It’s you in my past, my present, and my future

Sheila on 7 - On The Phone
Lagu ini magical, kecuali baris yang warna abu-abu. Rasanya kayak Sheila on 7 bikin lagu buat saya.

Sunday, March 6, 2011

Gomenasai, Carlos...


Your camera ruined my holiday. Not only that, it ruined yours too. You probably daydreamed for months, years maybe about the moment you first set eyes on Machu Picchu, or the Colosseum maybe, or the Golden Gate Bridge. I had too. And when you got there you chose to look at it not through your eyes, those marvelous things that give you such wide field of vision, but through a tiny screen at the back of your digital camera. Then, while you snapped endless inferior photos of the thing you’ve come all this way to see, you made people like me feel bad. Just for walking around looking at this great thing and “getting in the way” as you compose “the perfect picture”.

As you can probably tell, I’m no fan of travel photography. My wife banned me long ago from saying ‘let’s look with our eyes’ while she cradled her SLR. To me it’s pointless and gets in the way of seeing as much as possible. All that effort you all go to and for what? These days we don’t even have albums to flick through. Photos are files on a computer that rarely get looked at. You can see more impressive results by using Google Images. Want your loved ones in the shot? Use Photoshop and save yourself the bother of going anywhere.


Cameras are a barrier to really looking at something
, and to really experiencing a place. Nothing says ‘tourist’ like a chunky Nikon round your neck. And as you’ve probably discovered, the best things in the world can’t be photographed: Victoria Falls in full flow, the Eiffel Tower close up, the time-lapse magic of sunset over the Indian Ocean.


No camera needed. Don’t even think about asking me to say ‘cheese’.

-- Tom Hall, UK travel editor.

Muka saya rasanya kayak ditampar.
Yang Mister Tom bilang itu bener banget T.T Ini adalah definisi kebimbangan saya selama ini. Tapi saya merasakannya lebih ketika nonton pertunjukkan dan (berusaha) moto panggung, bukan travel... Karena saya adalah maniak panggung--dari TK--baik nontonin orang atau tampil sendiri di atasnya. Dan saya tersiksa tiap kali nonton sesuatu... Sebab saya juga maniak foto (lebai) walau bukan foto panggung dan masih mencari jati diri apa sebenarnya genre foto saya -.- Sementara moto dan menikmati langsung pake mata itu kegiatan yang saling meniadakan :(

November 2009, Saung Angklung Udjo di Bandung.
Belum punya tele, dan lagi seneng pake 50mm karena belakangnya bisa blur--pikiran super naif manusia baru mulai pegang kamera kemarin sore, dan belom ngerti lensa apa baiknya dipake pas kapan. Alhasil, saya harus mundur-mundur terus, naik ke undakan-undakan di belakang tempat saya bersama bapak, ibu, dan adik duduk. Kayaknya saya jadi gak menikmati pertunjukan dan jadi gak menikmati fotonya juga.

Februari 2010, Bailamos 1st Annual Show di Taman Budaya Yogyakarta.
Pertama kali pake tele. Tapi masih pake mode auto karena belom ngerti mode manual. Alhasil, flash idup-idup sendiri dan gemerlapan mencari fokus ysng gak ketemu-ketemu. Bukannya nontonin adek-adek imut nari, saya malah sibuk nyari fokus.

Mei 2010, UGM BNI Jazz di Grha Sabha Pramana.
Karena di UGM Jazz gak boleh pake flash, saya terpaksa belajar pake mode gak auto (soalnya kalo auto flash-nya bakal idup-idup sendiri). Pas itu waktunya mepet, Inyo cuma sempat ngajarin pake mode P dan ISO 1600. Hasilnya: noise di mana-mana.

Juni 2010, Loop di Caesar Cafe.
Foto ini gak ada ceritanya. (Boong banget, foto ini ada ceritanya 2 post: Anak Band 2 dan Anak Band 3. Tapi udah saya unpublish. Beruntunglah kalian yang dulu sempat baca). Waktu itu isi otak belom nambah dari mode P, jadi ya gitu. Saya cuma jepret tujuh kali, foto blur ini udah yang paling bagus. Saya gak jeprat jepret karena saya lebih ingin melihat penampilan Loop pakai mata saya langsung, gak lewat kamera.

Danceology
Agustus 2010, Danceology di Taman Budaya Yogyakarta.
Ini adalah pertama kalinya saya moto Tari Latin. (Biasanya saya yang difoto huhu.) Foto di atas adalah pas Rumba, tari latin yang temponya paling lambat. Otak dan hati saya crash banget pas nonton + moto ini. Saya pengen banget menikmati tarian ini santai aja pakai mata, tapi saya juga pengen banget punya foto orang nari. Akhirnya, hampir sepanjang pertunjukan saya nontonnya cuma pakai satu mata lewat kekeran kamera. Karena harus stand by terus... Pertama, saya gak tahu kapan penari itu akan berpose yang bagus buat difoto. Kedua, pose yang bagus buat difoto itu cuma bertahan sepersekian detik dan udah bergerak lagi (ya namanya juga nari). Biar pas ada pose yang bagus, bisa langsung dijepret.

September 2010, Discover Indonesia di Grha Sabha Pramana UGM.
Ini adalah malam pertama saya pakai mode M, karena kondisi moto pas konser ini lebih brutal dari pas UGM Jazz yang bisa diatasi hanya dengan mode P. Wana ngasih tau buat pasang ISO 1600 f5.6 1/50 tanpa saya ngerti maksudnya apa... Tapi ya sudah saya nurut aja sama dewa. Saya bukan dengerin musiknya malah sibuk smsan nanya-nanya gimana cara moto ini biar fotonya ga jelek-jelek amat.

Februari 2011, Concert for Harmony di Purnabudaya UGM.
Alhamdulillah sudah ngerti pake kamera dengan segala keterbatasannya, berkat abang Wana gahul. Tapi kegalauan lain muncul. Pas ini, ternyata saya jepret 456 kali, dan yang layak pajang cuma 7. Dalam hati saya mikir ini saya yang idiot apa emang gitu sih orang kalo moto panggung? Cuma 1.5% yang jadi. Kasian Carlos, ntar cepet abis umurnya dia :(

Maret 2011, Launching Album Pertama DIYN Band di Boshe VVIP Club.
Kalo foto orang nari tantangannya nebak kapan dia bakal berpose gaul dan berapa lama pose itu akan bertahan, kalo foto orang ngeband tantangannya adalah nungguin kapan lampu-lampu itu akan menyorot dengan bagus dan si anak band bergaya yang bagus. Foto saya ini itungannya biasa aja, tapi ini udah yang paling mendingan di antara yang saya punya. 2/559, saya merasa sangat tidak bijak dan bodoh banget make kamera :(

Pasti teman-teman ada yang mbatin, "Kalo emang moto panggung bikin tertekan, ngapain moto? Siapa juga yang nyuruh moto? Kalo mau nonton ya nonton aja, gak usah heboh bawa kamera. Pake tele segala, gede berat. Trus jadi sibuk moto yang hasilnya gak seberapa, dan gak kepake juga. Buat apa? Kenal sama artisnya juga enggak..." dan seterusnya dan seterusnya. Saya tuh bingung :( antara "ya udah ga usah moto, liat pake mata aja dan direkam di otak" tapi "sayang kalo gak ada fotonya" dan merasa berkewajiban untuk punya foto yang bagus gara-gara udah dimodalin kamera :((

Udah gitu, gara-gara bawa kamera pas nonton pertunjukkan juga, kesempatan yang sebenarnya bisa jadi quality time bersama teman menonton kita, jadi terlewatkan begitu saja karena terlalu sibuk moto, yang pada akhirnya cuma "so what kalo ada fotonya?". Kayak di Saung Udjo, saya kesana sama bapak, ibu, adik yang udah jarang ketemu karena saya kuliah di Jogja. Pas ketemu, saya malah asik mota-moto sendiri. Trus pas nonton UGM Jazz, saya kesana sama teman-teman wanita saya full team. Tapi saya gak ngobrol juga sama mereka karena terlalu bersemangat moto.

Saya berniat datang ke Econofest hari Sabtu kemarin, motret teman saya Yudi pas lagi ngeMC dan mungkin beberapa pose lain pakai gitar, trus fotonya diframe buat kado ulang tahunnya sebentar lagi. Tapi saya gak jadi berangkat, karena saya sedang enggan menyentuh kamera saya. Dan kalau saya berangkat tapi gak bawa kamera, saya yakin saya akan menyesal dan merasa lebih bersalah.

Mungkin saya sedang bosan. Mungkin juga saya sedang merasa belajar foto gak ada gunanya.