Singkat cerita, liburan semester saya kali ini jadi aneh sekali gara-gara Mandala berhenti beroperasi per 13 Januari lalu. Seandainya Mandala berhenti beroperasinya gak tanggal 13 tapi tanggal 2o, tanggal 19-nya saya masih bisa terbang ke Singapura dan menghabiskan 4 hari bersama teman lama saya Dicky Eka yang bersekolah di sana sejak SMA. Hati ini hancur tiada tara mengingat betapa saya sudah merencanakan perjalanan ini sejak dua bulan sebelumnya, betapa saya bersemangat untuk segera menyelesaikan ujian dan berfoto di Universal Studios, dan betapa-betapa lainnya :( Dan akhirnya, saya pergi ke Bandung bersama bapak, ibu, dan adik saya Jojo.
Day 1
Sepeda Ria Bapak dan Jojo
Acara pergi ke Bandung ini--saya tidak mau menyebutnya liburan--bermula dari keinginan bapak dan adik saya sepedahan ke sebuah warung bandrek yang melegenda di kalangan para pesepeda. (Bapak saya maniak sepeda.) Yang menjadikan warung bandrek itu istimewa adalah--katanya, soalnya saya gak ikut sepedahan kesana--warung bandrek itu punya cerita.
Ceritanya: untuk mencapai warung bandrek itu para pesepeda harus mendaki tanjakan yang curam dan panjang. Kalau dideskripsikan dengan kata-kata ya memang begitu doang: para pesepeda harus mendaki tanjakan yang curam dan panjang. Tapi coba teman-teman bayangkan, atau kapan-kapan cobain sendiri, sepedahan di tanjakan deket rumah yang panjangnya cuma beberapa puluh meter aja. Kalo gak biasa itu lumayan bikin ngos-ngosan. Nah buat ke warung bandrek ini tanjakannya ribuan meter, nonstop.
Bapak saya tentu saja gak gowes-gowes dari Jakarta. Sepedanya dipreteli dan dimasukin bagasi mobil dan dibawa sampai Tangkuban Perahu dan mulai digowes-gowes ke Bandung dari sana. Kalau Jojo baru ikut sepedahannya hari kedua yang dari Dago atas ke warung bandrek.
Foto ini memang tidak mencerminkan jalanan Lembang atau Bandung di mana bapak saya sepedahan waktu foto ini diambil. Tapi foto ini menunjukkan betapa senengnya bapak saya sepedahan. Belum pernah sebelumnya saya lihat bapak saya segembira itu difoto *.* (Coba aja liat foto-foto yang lain, mukanya malesin semua heheh.)
Kawah Domas, Gunung Tangkuban Perahu
Saya hanya ingat pemandangan hutan karet dalam perjalanan dari Jakarta ke Tangkuban Perahu sejak memasuki daerah Sadang. Saya ingin berfoto di hutan karet itu karena bagus tapi apa daya kepala ini udah pusing gara-gara jalan yang berliku dan di luar gerimis juga. Beberapa jam kemudian, mobil kami memasuki objek wisata Gunung Tangkuban Perahu dan parkir di depan gerbang menuju kawah terdekat yaitu Kawah Domas.
Ketika sampai, saya masih pusing. Udara dingin langsung menerpa dan menusuk sampai ke tulang begitu keluar dari mobil. Dan menit berikutnya tiba-tiba saya sudah berada di tengah hutan (yang rasanya seperti) tiada akhir...
Pas saya tanya Jojo sampai kapan jalan kaki di tengah hutannya, dia bilang setengah jam, dan baliknya 45 menit karena nanjak. "Ada tulisannya kok di depan," kata Jojo. Awalnya saya gak percaya, tapi ternyata Jojo gak becanda!
Di tengah hutan belantara, ada pengrajin batang pakis yang menjual kerajinannya. Well, sebenarnya satu-satunya kerajinan yang dikerjakan oleh si pengrajin adalah menggergaji batang pakis itu. Karena motif yang seperti ukir-ukiran itu sudah ada dari sananya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. (Jadi inget pelajaran biologi waktu SMA dulu liat penampang batang tumbuhan pakis lalalalala...)
Sejujurnya saya gak tahu batang ini buat apa dan harganya berapa dan saya gak nanya.
Untung ambil foto gak disuruh bayar :D
Untung ambil foto gak disuruh bayar :D
Setelah halp an hour walk through tropical rainforest (hahaha), akhirnya kami tiba juga di tulisan "Kawah Domas" lagi. Sejauh ini, jalan yang dilalui kalem dan landai-landai saja. Tapi abis ngelewatin gerbang ini, jalannya mulai brutal! Pas berangkat, jalannya turunan semua (Kan ceritanya mau turun ke dalam kawah). Gak ada masalah kecuali ada ruas yang licin jadi harus ekstra hati-hati. Yang agak kocak pas baliknya. Semua orang yang tadinya ngobrol langsung jadi diam seribu bahasa, udah gak sanggup lagi berkata-kata napasnya udah abis buat nanjak.
Setelah melewati turunan yang curam dan agak licin sambil ketar ketir baliknya bakal nanjak, akhirnya sampai juga saya, bapak, ibu, dan Jojo di Kawah Domas.
Kesan pertama yang didapat sesampainya di kawah adalah sumuk dan silau, hahaha. Rasanya kayak lagi di kukus. Kontras banget sama udara dingin di sepanjang halp an hour walk through tropical rainforest. Tapi itu wajar, namanya juga di kawah gunung yang masih aktif. Yang saya harapkan bau belerang malah gak kecium.
Di kawah, orang ramai mengelilingi kubangan air panas(?) dan merendam kakinya di sana. Tapi ada juga kubangan yang gak disentuh karena suhunya terlalu tinggi. Saya sih gak ikut-ikutan. Saya dan Jojo lebih sibuk pengen ngerebus telor di kawah kayak di game Harvest Moon. (Tapi akhirnya gak jadi soalnya kata abangnya rasanya gak enak.)
Hampir di seluruh permukaan kawah ada air yang sedang mendidih sampai keluar plukutuk-plukutuk gitu. (Tapi walau mendidih, suhunya kayaknya gak sampe 100 derajat celcius karena di dataran tinggi tekanannya rendah jadi titik didih didihnya turun, makanya masih bisa dilewatin.) Tinggal airnya seberapa banyak, dan suhunya setinggi apa. Kalo airnya dikit, plukutuknya kecil dan uapnya gak keliatan. Kalo airnya banyak, plukutuknya heboh dan uapnya ngepul-ngepul. Kayak foto di bawah ini.
Atas: Kepulan uap air. Bawah: plukutuk yang heboh.
Jadi, dari pengalaman saya kemarin, ada beberapa tips yang insyaAllah bisa bermanfaat untuk menikmati jalan-jalan ke kawah-kawah di Gunung Tangkuban Perahu:
1 / Pakai sepatu. Atau kalau males pakai sepatu, pakai sendal juga gapapa yang penting nyaman dipakai jalan kaki jauh (jauh = 1 km lebih) di tanah, batu, dan rute yang terjal, licin, dan berliku. Kemarin saya pakai sendal. Sendalnya bole minjem pula, jadinya gak nyaman banget. Saya gak tahu kalo bakal jalan kaki sejauh itu jadi gak bawa sepatu.
2 / Bawa sunglasses. Tidak ada pepohonan tumbuh di tengah kawah. Alhasil, matahari bisa dengan bebasnya menyinari kawah dan cahayanya dipantulkan lagi oleh permukaan kawah yang warnanya terang itu. Pokoknya silau banget, cahaya di mana-mana *.* Bapak dan Jojo hampir gak bisa melek. Saya gak bisa liat hasil foto saking silaunya... fotonya jadi berantakan =.= Kalo ibu saya kemana-mana bawa cengdem jadi aman.
Day 2
Gedung Sate
Tenang, saya gak akan membahas sejarah Gedung Sate atau keindahan arsitekturnya apalagi bikin foto cliche Gedung Sate tampak depan, karena udah banyak post yang bagus dan lengkap tentang itu (bisa dilihat disini dan disini). Yang akan saya ceritakan adalah bagaimana saya dan ibu saya bisa berfoto berlatar Gedung Sate tampak belakang di hari Minggu pagi, dan tanpa pager ikut-ikutan jadi background.
Minggu pagi, hari kedua jalan-jalan kami, rombongan pecah jadi dua. Bapak dan Jojo sepedahan ke warung bandrek, saya dan ibu gak tahu mau ngapain. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk foto di Gedung Sate.
Masalahnya, Gedung Sate itu adalah kantor gubernur, yang gak dibuka untuk umum apalagi hari Minggu, kayak kita gak bisa sesukanya masuk ke istananya Fauzi Bowo di Medan Merdeka Barat atau istana gubernur di seberangnya Benteng Vredeburg di Malioboro. Kalo kata tulisan di pagernya, "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!".
Selain itu, setiap Minggu pagi di Lapangan Gasibu seberangnya Gedung Sate ada pasar kaget kayak Sunday Morning di UGM. Pasar itu bikin kotor, macet, tapi banyak orang suka makanya ada terus walau sudah diupayakan untuk dilenyapkan atau dipindah dari lokasi itu. Keramaian itu bikin susah banget cari parkir. Saya dan ibu sampai muterin Gedung Sate dua kali buat cari tempat parkir yang dirasa paling strategis. Dan akhirnya dapet, di belakang Gedung Sate. Jauh bok =.= Ibaratnya kalo di jam tuh kita mau foto di angka 12, tapi parkirnya di angka 6. Jalan kaki bolak balik jaraknya udah sama kayak muterin Gedung Sate satu keliling.
Saya dan ibu pusing. Gimana ini mau fotonya =.=
Dalam perjalanan dari angka 6 ke angka 12, saya dan ibu berusaha mengambil foto dari luar Gedung Sate. Tapi susah. Karena ada banyak pohon di setiap beberapa meter yang bikin Gedung Sate-nya jadi ketutupan. Dah gitu, ada pagernya juga. Pokoknya kalo dipaksain jadinya gak jelas deh itu foto maksudnya apa hahaha. Cuma jadi kayak foto berlatar pager dan pohon-pohon. Tadinya saya pengen manjat tapi gak jadi, kriminal banget takut ditangkep polisi.
Sampai akhirnya, ada pager Gedung Sate yang terbuka yang dijaga satpam. Yang ada tulisannya "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk" itu. Tapi karena kami berkepentingan, yaitu mau foto, akhirnya kami masuk dan merayu pak satpamnya biar boleh masuk cuma buat foto doang. Kami bisa melihat kepanikan dan konflik batin di mata pak satpam itu. Di satu sisi dia tahu saya dan ibu saya harmless dan beneran cuma pengen foto doang. Tapi di sisi lain dia takut dimarahin sama para pejabat karena mengizinkan rakyat jelata seperti saya dan ibu saya masuk untuk berfoto. "Ntar kalo orang lain pada pengen masuk juga gimana?"
Tapi akhirnya pak satpam itu mengizinkan kami masuk dengan meninggalkan kartu identitas--saya menggadaikan KTM saya karena ibu saya gak bawa dompet. Selain itu, pak satpamnya juga sangat mewanti-wanti untuk foto-fotonya jangan sampai ke bagian depan Gedung Sate, soalnya gak enak kalo diliat rakyat jelata lain atau polisi yang berjaga di depan gedung. Yasudah kami pun manut karena itu saja sudah cukup.
Dan inilah foto yang didapat dengan susah payah itu...
Sebelum kami meninggalkan kompleks Gedung Sate setelah puas berfoto, kami pun berfoto bersama pak satpam dan pager yang ada tulisannya "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk" itu hihihi.
Museum Geologi
Sebagian (besar) orang berpikir berwisata ke museum adalah hal yang membosankan atau kerajinan. Ini beneran loh. "Rajin banget lo Sa libur-libur ke museum!" adalah komentar yang tulus yang secara reflek dilontarkan oleh teman saya Yudi mendengar cerita saya akan pergi ke Museum Geologi di Bandung.
Bukannya saya sok pinter atau sok rajin, tapi sejak muda (baca: SD) saya memang senang ke museum. Buat saya, ke museum adalah cara belajar yang sangat efektif. Misalnya Museum Iptek di TMII. Museum itu bagus banget buat belajar fisika. Kalau mau belajar sejarah, kita bisa main ke museum-museum kayak Museum Nasional a.k.a Museum Gajah di Jakarta, Monjali di Jogja, Museum Geologi di Bandung, dan museum-museum sejarah lainnya. Di museum-museum itu, pelajaran sejarah jadi menyenangkan karena biasanya ada guide nya, yang pada umumnya bisa menceritakan isi buku sejarah tanpa bikin ngantuk lengkap dengan trivianya.
Kalo Museum Geologi yang ada di Bandung ini bagus banget buat mengerti bab Zaman Prasejarah. Semua materi di bab Zaman Prasejarah di buku kita waktu SMP dan SMA ada di sini dan tidak membosankan. Pokoknya museum ini bagus banget buat dikunjungi pas study tour anak sekolah dan mahasiswa teknik geologi apalagi kalau gurunya bisa memanfaatkan koleksi museum sebagai peraga secara optimal.
Koleksi Museum Geologi yang paling mantap adalah fosil T-Rex! :D
Trivia
Baru sekali saya menginap di kamar hotel yang kamar mandinya ada jendelanya *.*
Dan ini adalah foto air terjun di kolam renang hotel tempat saya bapak ibu dan Jojo menginap. Fotonya gak pake tripod. Saya seneng banget hehehe...
Kiri: 1/500" | Kanan: 1/6"