Your camera ruined my holiday. Not only that, it ruined yours too. You probably daydreamed for months, years maybe about the moment you first set eyes on Machu Picchu, or the Colosseum maybe, or the Golden Gate Bridge. I had too. And when you got there you chose to look at it not through your eyes, those marvelous things that give you such wide field of vision, but through a tiny screen at the back of your digital camera. Then, while you snapped endless inferior photos of the thing you’ve come all this way to see, you made people like me feel bad. Just for walking around looking at this great thing and “getting in the way” as you compose “the perfect picture”.
As you can probably tell, I’m no fan of travel photography. My wife banned me long ago from saying ‘let’s look with our eyes’ while she cradled her SLR. To me it’s pointless and gets in the way of seeing as much as possible. All that effort you all go to and for what? These days we don’t even have albums to flick through. Photos are files on a computer that rarely get looked at. You can see more impressive results by using Google Images. Want your loved ones in the shot? Use Photoshop and save yourself the bother of going anywhere.
Cameras are a barrier to really looking at something, and to really experiencing a place. Nothing says ‘tourist’ like a chunky Nikon round your neck. And as you’ve probably discovered, the best things in the world can’t be photographed: Victoria Falls in full flow, the Eiffel Tower close up, the time-lapse magic of sunset over the Indian Ocean.
No camera needed. Don’t even think about asking me to say ‘cheese’.
-- Tom Hall, UK travel editor.
Muka saya rasanya kayak ditampar. Yang Mister Tom bilang itu bener banget T.T Ini adalah definisi kebimbangan saya selama ini. Tapi saya merasakannya lebih ketika nonton pertunjukkan dan (berusaha) moto panggung, bukan travel... Karena saya adalah maniak panggung--dari TK--baik nontonin orang atau tampil sendiri di atasnya. Dan saya tersiksa tiap kali nonton sesuatu... Sebab saya juga maniak foto (lebai) walau bukan foto panggung dan masih mencari jati diri apa sebenarnya genre foto saya -.- Sementara moto dan menikmati langsung pake mata itu kegiatan yang saling meniadakan :(
Belum punya tele, dan lagi seneng pake 50mm karena belakangnya bisa blur--pikiran super naif manusia baru mulai pegang kamera kemarin sore, dan belom ngerti lensa apa baiknya dipake pas kapan. Alhasil, saya harus mundur-mundur terus, naik ke undakan-undakan di belakang tempat saya bersama bapak, ibu, dan adik duduk. Kayaknya saya jadi gak menikmati pertunjukan dan jadi gak menikmati fotonya juga.
Februari 2010, Bailamos 1st Annual Show di Taman Budaya Yogyakarta.
Pertama kali pake tele. Tapi masih pake mode auto karena belom ngerti mode manual. Alhasil, flash idup-idup sendiri dan gemerlapan mencari fokus ysng gak ketemu-ketemu. Bukannya nontonin adek-adek imut nari, saya malah sibuk nyari fokus.
Pertama kali pake tele. Tapi masih pake mode auto karena belom ngerti mode manual. Alhasil, flash idup-idup sendiri dan gemerlapan mencari fokus ysng gak ketemu-ketemu. Bukannya nontonin adek-adek imut nari, saya malah sibuk nyari fokus.
Mei 2010, UGM BNI Jazz di Grha Sabha Pramana.
Karena di UGM Jazz gak boleh pake flash, saya terpaksa belajar pake mode gak auto (soalnya kalo auto flash-nya bakal idup-idup sendiri). Pas itu waktunya mepet, Inyo cuma sempat ngajarin pake mode P dan ISO 1600. Hasilnya: noise di mana-mana.
Karena di UGM Jazz gak boleh pake flash, saya terpaksa belajar pake mode gak auto (soalnya kalo auto flash-nya bakal idup-idup sendiri). Pas itu waktunya mepet, Inyo cuma sempat ngajarin pake mode P dan ISO 1600. Hasilnya: noise di mana-mana.
Februari 2011, Concert for Harmony di Purnabudaya UGM.
Alhamdulillah sudah ngerti pake kamera dengan segala keterbatasannya, berkat abang Wana gahul. Tapi kegalauan lain muncul. Pas ini, ternyata saya jepret 456 kali, dan yang layak pajang cuma 7. Dalam hati saya mikir ini saya yang idiot apa emang gitu sih orang kalo moto panggung? Cuma 1.5% yang jadi. Kasian Carlos, ntar cepet abis umurnya dia :(
Alhamdulillah sudah ngerti pake kamera dengan segala keterbatasannya, berkat abang Wana gahul. Tapi kegalauan lain muncul. Pas ini, ternyata saya jepret 456 kali, dan yang layak pajang cuma 7. Dalam hati saya mikir ini saya yang idiot apa emang gitu sih orang kalo moto panggung? Cuma 1.5% yang jadi. Kasian Carlos, ntar cepet abis umurnya dia :(
Udah gitu, gara-gara bawa kamera pas nonton pertunjukkan juga, kesempatan yang sebenarnya bisa jadi quality time bersama teman menonton kita, jadi terlewatkan begitu saja karena terlalu sibuk moto, yang pada akhirnya cuma "so what kalo ada fotonya?". Kayak di Saung Udjo, saya kesana sama bapak, ibu, adik yang udah jarang ketemu karena saya kuliah di Jogja. Pas ketemu, saya malah asik mota-moto sendiri. Trus pas nonton UGM Jazz, saya kesana sama teman-teman wanita saya full team. Tapi saya gak ngobrol juga sama mereka karena terlalu bersemangat moto.
Saya berniat datang ke Econofest hari Sabtu kemarin, motret teman saya Yudi pas lagi ngeMC dan mungkin beberapa pose lain pakai gitar, trus fotonya diframe buat kado ulang tahunnya sebentar lagi. Tapi saya gak jadi berangkat, karena saya sedang enggan menyentuh kamera saya. Dan kalau saya berangkat tapi gak bawa kamera, saya yakin saya akan menyesal dan merasa lebih bersalah.
Mungkin saya sedang bosan. Mungkin juga saya sedang merasa belajar foto gak ada gunanya.
hooooo, gitu tow....
ReplyDeleteTapi gimana lagi sa, namanya kita ingin mengabadikan apa yang mata kita lihat... Makanya tetap motret kan :D
agak sedih sebenarnya ceritanya... tapi kalau ga difoto nanti ga bisa dikenang2 suatu saat nanti
ReplyDeletedemi masa, sesungguhnya manusia itu merugi..
ReplyDeletesampai kapan ku akan begini..........
ReplyDeleteinsyaalah kegalauan akan segera berakhir, kayak lagu sha, badai pasti berakhir hehe
ReplyDeleteLagu badai pasti berlalu kali ciii :p iya ci, insyaAllah lo juga (‾⌣‾)♉
ReplyDeletehehe sama mbaak aku juga gitu.. selalu bawa kamera kemana2 tapi justru kalo ga disuruh jadi fotografer malah autis sendiri gara2 keasikan motret. pernah saking sebelnya aku bilang ke temen2ku
ReplyDelete'aku bukan tukang dokumentasi kalian, aku motret yang ingin aku potret.'
jahat banget nggak siih?
tapi sejak kamera dijual, saya sudah belajar memaafkan diri sendiri kalo ngga motret.krn emg ga ada kameranya. pertama2 pasti gatel ngrebut kamera mas saika, tapi lama2 kebiasaan juga.
mengabadikan momen lwt kamera itu keperluan, tapi bukan keharusan. karena mata dan otaklah perekam terbaiknya mbak :)
eh maaf mbak aku malah crito dewe.. intinya kita sedang galau mungkin :) semoga segera menemukan passionnya lagi yaa :D
ReplyDeleteGa jahat kok itu kin, aku malah baru sadar sebenarnya ada pilihan itu 'aku bukan tukang dokumentasi kalian, aku motret yang ingin aku potret.' (‾⌣‾)♉
ReplyDeleteAku belom tau bs memaafkan diri sendiri apa engga kalo ga motret kin... Blm pernah dicoba soalnya (⌣́_⌣̀) besok kali yaa?
Gapapa kinkin, seneng aku bacanya. Berarti aku ga sendiri... aku jadi terharu (˘̩̩̩⌣˘̩̩̩ƪ)
gw baru menyadari foto itu susah, gara-gara foto buku tahunan, gila gw foto udah setengah jam lebih masa ga ada yang layak masuk buku tahunan..
ReplyDeletetampang gw sih emang pas-pas an tapi sebegitu ga layak cetak kah? kesedihan tidak hanya dialami sang fotographer tapi juga objek yang difoto..:(
HAHAHAHAHA tetap semangat ya tan :*
ReplyDelete