Wednesday, February 1, 2012

Story of the Year

Story of the Year

Setelah mengisi perut dengan beef kebab dan chicken steak khas Doner Kebab di Plaza Senayan, pukul delapan tepat aku dan partner tiba di Gelora Bung Karno. Kami yang belum tahu pasti di mana Plaza Selatan Senayan GBK itu berada memutuskan untuk masuk dari Pintu Satu. Dentuman bas drum yang dipukul dengan dobel pedal sudah terdengar dari sana, yang artinya ada acara band-band-an tak jauh dari situ.

“Mas, konser Story of the Year di Plaza Selatan Senayan tuh di mana?” tanya partnerku sedikit berteriak ke abang penjaga pos karcis GBK, berusaha mengalahkan suara distorsi gitar yang meraung-raung.

“Di sini, Mas! Itu panggungnya!” jawab si abang juga berteriak, sambil menunjuk ke arah panggung yang lampunya gemerlapan di balik kain hitam yang melapisi pagar. Rupanya dugaan kami benar.

Partner memarkirkan mobilku di tempat terdekat dari venue, dan di sana sudah menunggu beberapa preman berkulit hitam dengan hiasan rantai-rantai di celana pendeknya. Mereka adalah tukang parkir—atau tukang palak—dan menyuruh kami bayar Rp15.000,- untuk parkir di sana. Aku agak gak ikhlas sebenarnya.

“Udah gak papa, daripada ban mobillo dikempesin atau mobillo dibaretin?” ucap partner menghiburku. “Jangan biarkan lima belas ribu merusak harilo.”

“Iya,” jawabku sambil menghela napas, masih tidak rela. Harusnya, EO konser ini berkoordinasi dengan satuan keamanan GBK, biar gak ada preman slash tukang palak dengan penampakan yang menimbulkan keresahan publik.

Setelah tas dan saku-saku baju kami diperiksa, kami masuk ke venue yang berada di balik kain hitam yang terlihat dari luar. Untuk ukuran konser internasional, venue ini kecil sekali. Sama konser bikinan anak SMA masih gedean konser bikinan anak SMA kali.

“Gue berharap panggungnya lebih gede padahal,” ujar partner sedikit kecewa begitu memasuki venue.

“Namanya juga seratus ribu, what do you expect?” kini giliranku bilang kalimat ‘puk-puk’ untuk mendamaikan hati partner.

Ya, harga tiket konser Story of the Year ini hanya Rp100.000,-. Dan karena itulah kali ini aku niket dan gak ngeliput, untuk pertama kalinya selama aku jadi fotografer panggung. Datang sebagai penonton, gak pakai press card, gak boleh bawa kamera DSLR, dan gak bisa masuk media pit. Merakyat.

Di venue, hampir semua penonton mengenakan pakaian hitam-hitam. Ada yang rambutnya di-mohawk, ada yang rambutnya gondrong, ada pula jagoan piercing yang memakai anting-anting di kuping, hidung, dan bibirnya. Penampilan mereka memang menyeramkan, tapi aku tahu mereka bukan orang jahat. Sebab, mereka datang bersama teman-teman perempuan mereka yang berkerudung, dan ada pula yang seksi berambut panjang terurai memakai kaos you-can-see, hot pants, dan flat shoes.

Mereka duduk berkelompok-kelompok di sekeliling venue, menikmati opening act sambil mengepulkan asap dari rokok yang dihisapnya, dan tak menyisakan pagar ataupun pohon untuk disandari penonton-penonton yang baru datang seperti aku dan partner. Semenit-dua menit aku sadar mata mereka memandang ke arahku dan partner, membuat kami agak canggung terutama karena harus duduk agak di tengah lapangan dan aku pakai kaos lengan panjang warna putih—kostum yang sebenarnya sangat salah dipakai datang ke konser musik rock.

Pukul sembilan tepat tiga band metal itu akhirnya tuntas melaksanakan kewajiban mereka sebagai opening act. Mereka adalah Thirteen, Sweet as Revenge, dan Cemetry Dance Club. Menurut jadwal, berikutnya adalah giliran Story of the Year unjuk gigi. Para penonton yang tadinya duduk manis di sekitar venue kini sudah berdiri dan merapat ke panggung. Mereka yang cukup gesit langsung dapat berdiri di baris terdepan, menempel dengan barikade media pit yang membatasi panggung dengan penonton. Sedangkan aku dan partner, karena agak terlalu lama berunding mau berdiri sedekat apa dengan panggung, akhirnya kami dapat berdiri di lapisan tengah, kira-kira sepuluh meter dari panggung.

Lalu kami menunggu.

Seorang bule bertopi, berkaos gombrong dan bercelana baggy a la rapper tiba-tiba muncul dari bawah panggung. Para penonton kontan bertepuk tangan. Tetapi ia bukan Dan Marsala sang vokalis atau teman-teman satu band-nya. Ternyata dia adalah stage crew yang mondar-mandir di atas panggung, naik turun panggung membawakan gitar, bas, efek-efeknya, dan sesekali mengecek microphone.

Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok.

Story of the Year tak kunjung naik pentas. Bule bertopi itu malah menggoda dan meledek kami, dan sebagian penonton menyorakinya. Lucunya, ada anak kecil Sunda pisan, misoh-misoh gak jelas dan memaki bule itu pakai bahasa Sunda. Partner yang sudah tiga tahun lebih kuliah di Bandung mengerti anak itu ngomong apa dan dia ketawa-ketawa saja.

Satu jam berlalu.

Panggung mati dan gelap gulita. Tak ada atraksi apa-apa. Tak ada MC, tak ada bunyi-bunyian apapun. Penonton mulai bosan dan gelisah. Ada yang duduk lagi, ada pula yang bertahan untuk berdiri. Kakiku mulai pegal karena hanya berdiri diam tidak bergerak. Aku menoleh ke arah partner, kulihat peluh mengalir di pipinya, merambati rambutnya yang menutupi telinga.

“Duduk yuk?” ajakku pada partner. “Di sini aja gak usah ke pinggir.”

Partner melihat sekeliling, dan ternyata di belakang kami semua orang sudah duduk di tempat. Ia pun mengiyakan ajakanku. Tapi ketika kami sudah mengambil ancang-ancang untuk duduk, tiba-tiba lampu-lampu panggung menyala, dan Story of the Year naik panggung!!!

Hanya dalam sepersekian detik semua orang yang baru saja terlihat sedang duduk sudah kembali berdiri dan semakin merapat dengan panggung. Aku tergencet sana-sini dan tidak bisa melihat apa-apa selain punggung-punggung tinggi milik manusia-manusia yang berdiri di depanku—yah, nasib rakyat kecil. Susah payah aku berjinjit-jinjit tapi partner malah menertawaiku. Dia bahkan menekuk lututnya, merendah dan mencoba melihat dari ketinggian mataku sambil mengasihaniku. Sial.

“WHADAP JAKARTAAA!!!” sapa Dan Marsala screaming. “WE ARE STORY OF THE YEAR!!!”

Duo gitaris Ryan Phillips dan Phillip Sneed lalu menggebrak panggung dengan intro The Antidote dan kombo backflip andalan mereka. Penonton langsung menjadi liar. Semuanya mengangkat tangan dan melompat mengikuti irama, termasuk partner—sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan mengingat betapa babyface-nya dia dan betapa kalemnya dia waktu manggung pas SMP dulu. Aku benar-benar tidak menyangka dia akan ikut lompat-lompat seperti itu!!!

Sebagai cewek imut yang alim, aku bingung harus gimana. Partnerku menonton konser malam itu menggila. Aku ikut lompat-lompat juga atau diam saja? Kalau ikut lompat-lompat kok kayaknya metal banget, gak jaim. Masa cewek loncat-loncat gitu? Tapi kalau gak ikut lompat, aku bisa jatuh ketabrak-tabrak orang yang lompat-lompat dan badannya lebih besar dariku itu. Akhirnya aku ikut melompat… untuk sekadar mengimbangi gaya yang orang berikan ketika mereka menabrakku, bukan untuk hanyut dalam lautan massa.

The Antidote selesai, And the Hero Will Drown menyambung sebagai lagu kedua. Penonton membrutal. Mereka langsung membentuk moshpit ketika intro dimainkan, memaksa semua orang mundur kalau tidak mau dilempar-lempar kesana kemari di lingkaran moshpit. Kali ini partner tidak ikut-ikutan. Dia menarikku mundur, dan sesekali ikut mendorong orang yang terlempar ke arah kami.

Tanpa jeda, Falling Down langsung mengiringi And the Hero Will Drown, diikuti dengan Our Time is Now dan The Ghost of You and I. Plaza Selatan Senayan langsung berubah menjadi koor massal saat berikutnya lagu Anthem of Dying Day dimainkan. Betapa lagu itu abadi.

The stars will cry the blackest tears tonight. And this is the moment that I love for, I can smell the ocean air. Here I am, pouring my heart onto these rooftops. Just a ghost to the world, that’s exactly, exactly what I need.
From up here the city lights burn like a thousand miles of fire and I’m here to sing this anthem of our dying day.

Setelah “beristirahat” di lagu Anthem of Dying Day, lagu yang terbilang “gak ngerock” dibandingkan dengan sebagian besar lagu-lagu dalam setlist malam itu, baik para penonton maupun Story of the Year di atas panggung energinya seperti terisi kembali. Si duo gitaris Phillips dan Sneed mulai hiperaktif lagi, memasang kuda-kuda dan melompat-lompat di setiap awal bait berbarengan dengan genjrengan gitarnya. Marsala juga sudah mengumpulkan suaranya lagi, dan kembali screaming dengan sempurna di Take Me, The Children Sing, Wake Up, dan Stereo.

Lalu tibalah giliran lagu Sidewalks dilantunkan.

Penonton yang tadinya moshing-moshing kini jadi kalem, mengeluarkan hape dan korek api dari sakunya, menyalakannya dan mengangkatnya ke atas kepala, dan melambaikannya mengikuti irama lagu. Walau sampai sekarang aku tak mengerti makna lagu Sidewalks, lagu itu tetap terdengar menyayat hati. Malam hari di Plaza Selatan Senayan, menonton Story of the Year live in concert. Bersama partner diiringi angin sepoi-sepoi yang meniup panggung kecil berlatarkan gedung-gedung pencakar langit khas Jakarta kota metropolitan itu... epic sekali.

Aku dan partner sudah tak bisa lagi bertahan di dekat panggung di lagu-lagu berikutnya: Razorblades, Choose Your Fate, In the Shadows, Is This My Fate, dan He Asked Them. Penonton yang sangat bersemangat moshing-moshing cukup berbahaya bagi penonton lain yang tidak ikut moshing-moshing. Kami lalu mundur dan malah mencoba berfoto berlatar panggung yang lampunya sedang gemerlapan lengkap dengan personel-personel Story of the Year-nya… tapi tidak berhasil.

Hingga sampailah di penghujung konser, tembang Until the Day I Die yang meroketkan nama Story of the Year dimainkan. Kali ini aku sudah tidak peduli jaim-jaiman. Ini lagu terakhir dan semua orang akan melompat-lompat sekonyong-konyongnya, moshing sebrutal-brutalnya, dan ikut bernyanyi sekencang-kencangnya. Aku tidak boleh kalah dan harus bisa mengimbangi mereka semua.

Malam itu Story of the Year tampil sangat awesome meski hanya berbalut t-shirt dan jins alakadarnya. Mereka tetap tampil prima, penuh energi, dan sukses menghibur fansnya di Jakarta yang kebanyakan berusia sebaya saya dan partner, terlepas dari ketidakbecusan promotor seperti ketidaktepatan waktu, soundsystem yang sempat mati-mati, dan berakhirnya peraturan “penonton gak boleh bawa kamera DSLR” menjadi mitos belaka. (Aku udah susah payah minjem kamera poketnya Yuscha padahal, eh gataunya banyak penonton bawa DSLR dan boleh masuk.) Nama Story of the Year di tahun 2011 memang tidak semenggema dulu ketika kami SMP, dan konsernya jadi gak terlalu ramai. Sedih? Tidak juga. Panggung kecil dengan hanya 1500 penonton menjadikan konser malam itu konser yang intim, di mana yang datang memang yang suka, bukan yang latah tren.

Selepas Story of the Year turun panggung, giliran perutku dan partner yang screaming-screaming. Tampaknya beef kebab dan chicken steak yang kami makan tadi sudah terkonversi semua jadi energi dan habis terpakai sepanjang konser. Akhirnya sebelum pulang kami pun menyambangi Kebon Sirih, membekali perut kami (lagi) dengan sepiring nasi goreng kambing supaya empunya bisa tidur dengan lelap sampai di rumah.

Jakarta, 6 Oktober 2011

4 comments:

  1. sa, kalo bisa bawa kamera ya pas nonton dream theater trus post di blog ya... pingin liat liputan dan foto2nya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. oke nova, doain dapet akses ngliput yaaa atau penonton boleh bawa DSLR masuk, soalnya tiketku di tribun, kalo pake kamera poket gak nyampe zoom nya :')

      Delete
  2. kunjungan gan .,.
    Menjaga kepercayaan orang lain lebih penting daripada membangunnya.,.
    di tunggu kunjungan balik.na gan.,.

    ReplyDelete